JAKARTA, KOMPAS — Kinerja puskesmas dalam menjalankan upaya kesehatan masyarakat atau UKM setelah implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional menurun. Akibatnya, muncul berbagai persoalan kesehatan mulai dari penyakit infeksi hingga penyakit tidak menular.
Demikian benang merah yang terangkum dari Kaleidoskop 2017: Marginalisasi Upaya Kesehatan Masyarakat di Era JKN yang diadakan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia di Jakarta, Kamis (21/12).
Ketua PKEKK Prof Budi Hidayat mengatakan, kinerja puskesmas yang menurun dalam UKM berupa kegiatan promotif dan preventif, terjadi sejak 2014. Ini bersamaan dengan mulai diimplementasikannya program JKN. ”Memang belum diketahui korelasi langsung antara implementasi JKN dengan menurunnya kinerja puskesmas. Namun, fakta empiris menunjukkan penurunan kinerja,” katanya.
Fakta empiris pertama adalah dengan menganalisis hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), cakupan imunisasi dasar lengkap tahun 2013 (sebelum JKN) ke 2015 (sesudah JKN) menurun dari 75 persen ke 64 persen. Begitu juga dengan cakupan pemakaian alat kontrasepsi modern, seperti suntik dari 56,3 persen menjadi 44,7 persen dan pil dari 22,5 persen menjadi 16,3 persen.
Fakta empiris lain adalah penyerapan dana bantuan operasional kesehatan (BOK) yang menunjukkan tren menurun sejak 2013 di mana alokasinya Rp 1,11 triliun terserap 99,9 persen. Pada 2014 ketika alokasinya Rp 1,17 triliun, terserap 98 persen, hingga 2015 di saat alokasinya Rp 1,38 triliun terserap 98,2 persen. Padahal, dana BOK adalah pendorong puskesmas dalam melakukan serangkaian kegiatan promotif preventif.
Budi menilai, puskesmas mengalami euforia JKN sehingga kegiatan UKM terabaikan. ”Lihat saja setiap akhir bulan petugas puskesmas sibuk mengurusi laporan pertanggungjawaban kapitasi,” katanya.
Guru Besar Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKMUI Ascobat Gani mengatakan, pembangunan dan upaya kesehatan harus komprehensif, tidak boleh ada dikotomi antara UKM (promotif dan preventif) dan upaya kesehatan perorangan (UKP) yang lebih bersifat kuratif. Pelaksanaan UKM dan UKP di puskesmas harus seimbang.
Akan tetapi, dalam implementasinya, UKM termarginalisasi dibandingkan UKP. Setelah otonomi daerah, nasib puskesmas bergantung pada komitmen kepala daerah dan kemampuan finansial daerah. Puskesmas dikerdilkan menjadi klinik pengobatan.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto mempertanyakan kinerja puskesmas. Dalam kasus difteri saat ini, misalnya, cakupan imunisasi dasar lengkap dilaporkan selalu di atas 100 persen, tetapi kenyataannya banyak kasus difteri muncul.
Konsultan Ekonomi dan Pembiayaan Kesehatan Dewan Jaminan Sosial Nasional Prof Hasbullah Thabrany mengusulkan, puskesmas hanya fokus pada program UKM dengan dukungan anggaran yang besar dari pemerintah. Sementara program UKP diserahkan kepada dokter praktik perorangan atau klinik. (ADH)