Makanan masyarakat Indonesia rata-rata tinggi gula, garam, lemak, dan kurang serat. Di sisi lain, aktivitas fisik makin berkurang dan olahraga belum menjadi budaya. Mereka juga terpapar asap rokok, baik sebagai perokok aktif maupun pasif.
”Walau penderita penyakitnya menyebar, fasilitas kesehatan yang bisa melayani penyakit katastropik masih terkumpul di Jawa dan kota besar,” kata Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Laksono Trisnantoro, Kamis (4/1), dihubungi dari Jakarta.
Dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), pelayanan penyakit katastropik diberikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) ataupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL).
Direktur Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Maya Amiarny Rusady mengatakan, penyakit katastropik butuh perawatan medis lama dan biaya tinggi. Selain jantung, gagal ginjal, kanker, dan stroke, penyakit katastropik lain yang menjadi fokus dalam program JKN-KIS adalah sirosis hepatitis, talasemia, leukemia, dan hemofilia.
Pelayanan penyakit katastropik oleh BPJS Kesehatan diberikan sesuai kebutuhan untuk peserta JKN-KIS, berupa layanan komprehensif (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) sesuai indikasi medis. ”Tidak ada pembatasan jumlah kunjungan dan jumlah hari rawat bagi peserta,” kata Maya.
Saat JKN-KIS mulai pada 2014, BPJS Kesehatan membiayai 5,8 juta kasus penyakit katastropik sebesar Rp 8,7 triliun. Hingga kini, jumlah kasus yang ditangani dan biaya yang ditanggung terus naik. Pada 2017 hingga September, ada 10,8 juta kasus penyakit katastropik dengan biaya Rp 12,3 triliun.
Tidak adil
Sifat pembiayaan program JKN-KIS terhadap penyakit katastropik yang tidak terbatas berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Hal itu terutama terjadi pada peserta yang tinggal di daerah yang tak punya fasilitas kesehatan lengkap dan memadai.
”Dana JKN-KIS akan lebih banyak dimanfaatkan mereka yang memiliki akses baik dan relatif mampu secara ekonomi,” kata Laksono. Belum lagi banyak peserta kelas 2 atau kelas 1 yang kemudian menaikkan kelas layanan ke kelas 1 atau VIP sehingga mendapat manfaat lebih besar dalam JKN-KIS.
Kondisi itu diperparah dengan sebaran rumah sakit yang mampu mengobati penyakit katastropik yang belum merata. Saat ini, dari 2.785 rumah sakit (RS) yang ada, hanya ada 71 RS kelas A dan 397 RS kelas B. RS kelas A mampu memberikan pelayanan hingga tingkat subspesialis, sedangkan RS kelas B bisa memberikan layanan spesialis lebih memadai.
Provinsi di Indonesia timur umumnya belum memiliki RS kelas A, baik itu RS umum, RS jiwa, atau RS khusus. Kelas RS tertinggi yang ada di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, atau Nusa Tenggara Timur adalah RS kelas B. RS kelas B itu pun umumnya hanya ada di ibu kota provinsi.
Ketiadaan RS yang mampu melayani penyakit katastropik memadai itu membuat pasien penyakit katastropik di daerah itu harus dirujuk ke daerah lain.
Masalahnya, terhadap mereka, BPJS Kesehatan hanya membayar biaya perawatan RS. Biaya transportasi dan akomodasi harus ditanggung pasien atau keluarga pasien. Dengan kondisi geografis sulit, biaya transportasi dan akomodasi itu tak murah.
”Jika pemerintah konsekuen dengan pemerataan pelayanan kesehatan, mau tidak mau pemerintah harus juga membangun fasilitas kesehatan yang juga mampu menangani penyakit katastropik di Indonesia timur,” kata Laksono. Hanya dengan cara itu, peserta JKN-KIS di Indonesia timur bisa merasakan manfaat program itu dengan mutu sama dengan peserta di Jawa atau kota-kota besar lainnya.
Pemerintah sedang membangun RS kelas A di Papua, Maluku, dan NTT. Namun, agar RS itu bisa berfungsi optimal butuh waktu 5-10 tahun. Sebab, pemerintah tak bisa hanya membangun gedung atau menyediakan peralatan, tetapi juga harus menyediakan dokter spesialis dan subspesialis serta perawat dengan kemahiran tertentu.