JAKARTA, KOMPAS — Empat warga Desa Polanto Jaya, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, didakwa mencuri buah sawit milik PT Mamuang, anak perusahaan PT Astra Agro Lestari. Kasus tersebut disidangkan di Pengadilan Negeri Pasang Kayu, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat.
”Secara locus delicti (lokasi terjadinya perkara) harusnya di wilayah Sulawesi Tengah,” kata Direktur Walhi Sulawesi Tengah Badul Haris, Selasa (16/1), di Jakarta.
Empat petani itu dituduh mencuri buah sawit 5-7 ton. Padahal, menurut Badul Haris, mereka mengambil buah di tanah sendiri seluas 42 hektar yang ada sertifikat surat keterangan pendaftaran tanah dan surat hak milik.
Menanggapi hal itu, Kepala Komunikasi PT Astra Agro Lestari Tbk Tofan Mahdi menjelaskan, perusahaan selalu mengutamakan dialog. ”Seandainya terjadi perselisihan dengan masyarakat, perusahaan mengembalikan ke jalur hukum yang berlaku. Inilah yang terjadi di PT Mamuang,” ujarnya.
Menurut Tofan, petani Desa Polanto Jaya terbukti mencuri buah sawit di lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT Mamuang sehingga mereka ditangkap dan diajukan ke pengadilan. ”Perusahaan hanya melaporkan tindak pencurian. Penangkapan dan persidangan dijalankan pihak yang berwenang,” katanya.
Edisutrisno dari Transformasi untuk Keadilan (TuK) mengungkapkan, ada ketidakjelasan batas HGU PT Mamuang. ”Pihak Walhi pernah meminta peta batas ke kantor Badan Pertanahan Nasional, tetapi tidak diberikan sehingga obyek yang mau disengketakan tidak jelas, HGU di Sulbar, tetapi faktanya kebun sampai ke Sulteng, ke tanah masyarakat,” ucapnya.
Keberlanjutan
Beberapa waktu lalu, produk sawit dari Indonesia ditolak melalui resolusi Parlemen Uni Eropa yang memandang proses produksi produk sawit Indonesia melanggar hak asasi manusia atau HAM, terdapat korupsi, dan mempekerjakan buruh anak.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti, terkait resolusi itu, isu keberlanjutan tak bisa hanya dijawab dengan label seperti Indonesia Sustainable Palm Oil. Pemakaian standar saja tak cukup tanpa melihat fakta.
Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi Khalisah Khalid menandaskan, ”ISPO dan RSPO tak cukup untuk menjawab konflik dan kriminalisasi yang banyak terjadi.” (ISW)