JAKARTA, KOMPAS — Pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah kelolanya oleh pemerintah daerah jadi dasar bagi pusat untuk mengembalikan hutan adat. Namun, masih ada pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten atau kota yang belum menginventarisasi dan memberi pengakuan masyarakat adatnya.
Pengakuan masyarakat adat dan haknya ialah kewajiban negara yang jadi amanat UUD 1945 Pasal 18. Ini jadi dasar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 menempatkan hutan adat sebagai hutan hak, tak lagi bagian dari hutan negara.
Namun, penunjukan areal hutan, pemberian izin kehutanan, dan pelepasan hutan pada masa lalu membuat negara seolah-olah mengabaikan masyarakat adat di kawasan itu. Di rezim ini, hutan adat diperhatikan dan jadi bagian janji pemberian perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar.
Untuk menetapkan hutan adat, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan butuh pengakuan pemerintah daerah akan masyarakat hukum adat dan ruang hidupnya (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Pengakuan berupa peraturan daerah apabila hutan adat ada di kawasan hutan.
”Penetapan subyek hukum (masyarakat adat) itu di daerah. Jika tak ada peran pemda, tidak jadi barang ini,” kata Noer Fauzirachman, pakar agraria yang juga Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan, Rabu (24/1), dalam penutupan Rapat Koordinasi Nasional Hutan Adat di Jakarta.
Karena itu, pemda yang juga berada lebih dekat dengan masyarakatnya perlu memberi perhatian pada nasib masyarakat adatnya. Jadi, penyusunan peraturan daerah butuh kemauan politik kepala daerah beserta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto mengatakan, pihaknya menyiapkan strategi pendekatan pada pemda lewat Kementerian Dalam Negeri. Banyak peraturan daerah bisa ditiru dan menjadi acuan untuk disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.
Dari 40 peraturan (peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan wali kota/bupati, dan keputusan kepala daerah lain) terkait masyarakat hukum adat, hanya 2 peraturan dilengkapi peta. Dua daerah itu ialah Perda Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015 dan Surat Keputusan Bupati Sigi Nomor 189.1-521 Tahun 2015 di Sulawesi Tengah.
Kondisi daerah
Dalam rakor, Region Sumatera melaporkan teridentifikasi, usulan hutan adat di Kabupaten Dharmasraya, Sumbar, yang ada di area penggunaan lain (APL atau non-areal hutan). Lahan yang punya tutupan hutan bagus itu dikelilingi perkebunan sawit.
Di Kabupaten Seluma, Bengkulu, ada hutan adat tersisa 40 persen hutan pinus, sisanya berupa sawit. ”Di situ banyak pendatang. Disarankan agar diperhatikan pranata adatnya apa berfungsi,” kata Ricardo Simarmata, mewakili Region Sumatera.
Region Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara melaporkan, NTB belum ada perda masyarakat hukum adat. Di NTT, baru Kabupaten Ende yang punya Perda No 2/2017 tentang Penyelenggaraan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. (ICH)