Tenaga Ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional Prof Hasbullah Thabrany menyoroti sejumlah kendala pelaksanaan JKN-KIS dalam forum diskusi kesehatan bertema ”Mengoptimalkan Layanan JKN”, Sabtu (27/1), di Jakarta. Diskusi yang merupakan kerja sama harian Kompas dan Rumah Sakit Siloam itu disiarkan langsung Radio Sonora.
Dari aspek layanan, sejauh ini berbagai fasilitas kesehatan yang diberikan dalam JKN belum dinikmati warga secara merata di semua wilayah. Keterbatasan peralatan kesehatan dan tenaga kesehatan menimbulkan antrean panjang pasien yang menjadi peserta JKN di sejumlah daerah.
Sekretaris Kompartemen Jaminan Kesehatan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Tonang Dwi Ardyanto mengakui, layanan JKN di RS yang bermitra dengan BPJS Kesehatan belum optimal. Selain stok beberapa jenis obat kerap kosong, kapasitas tempat tidur pun terbatas, padahal kunjungan pasien meningkat.
Untuk itu, Asisten Deputi Bidang Utilisasi dan Anti-Fraud Rujukan BPJS Kesehatan Elsa Novelia menyatakan, pihaknya memperluas kerja sama dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL). ”Tantangannya, distribusi fasilitas kesehatan belum merata,” ujarnya.
Pada 2017, jumlah FKTP yang bergabung dalam jejaring BPJS Kesehatan 21.763 unit dan 49 persennya milik swasta. Adapun jumlah FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan mencapai 2.268 unit atau 83 persen dari jumlah RS teregistrasi.
Meski jumlah fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan bertambah, akses warga terhadap layanan dan informasi JKN perlu ditingkatkan. Salah satunya adalah akses layanan medis sesuai kebutuhan ditunjang rujukan berbasis kompetensi, termasuk ketersediaan ruang rawat dan unit perawatan intensif serta ketersediaan obat.
Keberlanjutan program
Untuk mengoptimalkan layanan, perlu dukungan pendanaan yang kuat. Karena itu, BPJS Kesehatan menggenjot kepesertaan agar tercapai cakupan semesta atau semua penduduk terdaftar sebagai peserta JKN-KIS tahun 2019. Per 19 Januari 2018, peserta JKN-KIS ada 189,93 juta orang.
Untuk segmen peserta penerima upah (PPU), 80-90 persen dari jumlah total perusahaan besar dan menengah telah mendaftarkan pekerja mereka sebagai peserta JKN-KIS. Namun, sebagian besar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) belum mendaftarkan pekerja mereka sebagai peserta program itu.
Sejauh ini, iuran terkumpul dengan pemanfaatan belum sesuai sehingga ada defisit keuangan BPJS Kesehatan. ”Peserta mandiri JKN kebanyakan membayar iuran saat sakit, padahal iuran peserta sehat untuk membayar pengobatan peserta sakit. Kami dorong kepatuhan membayar iuran lewat memudahkan akses pembayaran,” kata Elsa.
Karena penyesuaian iuran JKN agar sesuai keekonomian belum dapat dilakukan, pihaknya menyesuaikan manfaat dengan menekan pengeluaran melalui peningkatan efisiensi biaya layanan. Selain itu, perlu alternatif suntikan dana tambahan yang tak membebani APBN, misalnya pungutan rokok atas kesehatan.
Hasbullah yang juga Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menambahkan, optimalisasi layanan JKN sulit tercapai selama kondisi keuangan BPJS Kesehatan tak sehat karena iuran JKN di bawah keekonomian. ”Jadi, meski semua penduduk Indonesia jadi peserta JKN-KIS, defisit masih akan terjadi,” ujarnya.
Iuran program JKN-KIS idealnya Rp 120.000-Rp 150.000 per orang per bulan agar layanan bisa lebih optimal dan keberlanjutan program itu terjaga. ”Terkait penetapan iuran JKN, pemerintah sebaiknya mengedepankan aspek sosial dan ekonomi, tak hanya pendekatan politis,” katanya. (EVY)