Orangutan Dibantai di ”Rumahnya”
Dua kasus pembantaian orangutan menjadi cerita buruk di awal 2018. Bahkan, di Kalimantan Timur tercipta rekor peluru terbanyak yang menembus badan orangutan. Hutan yang sejatinya menjadi ”rumah” bagi mereka tidak lagi memberi jaminan keamanan. Siapa yang salah?
Ada kemiripan dari dua kejadian tersebut. Orangutan ditembaki warga yang jengkel akibat lahan kebun garapannya dirusak. Kasus di Taman Nasional Kutai (TNK) lebih miris karena orangutan justru dibantai di tempat yang seharusnya aman 100 persen, yakni hutan berstatus taman nasional.
Manajer Perlindungan Habitat Centre for Orangutan Protection (COP) Ramadhani, Jumat (23/2), menyebutkan, setidaknya ada 46 orangutan yang ditembaki dalam rentang 2004-2018. Itu baru kasus yang terpantau sejak 2004. Realitas sebenarnya tentu lebih.
Sepuluh lembaga perlindungan satwa liar, termasuk COP, September 2016, menggelar aksi serentak di sembilan kota. Mereka mendesak pengetatan pengawasan kepemilikan dan senapan angin.
Aturan sebenarnya sudah ada, yakni Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api untuk Kepentingan Olahraga. Senapan angin hanya boleh dipakai untuk olahraga menembak sasaran dan hanya digunakan di lokasi pertandingan.
Namun, peraturan ini masih ada celahnya karena hanya mendefinisikan senapan angin berpeluru kaliber 4,5 mm. Sementara senapan angin milik warga biasanya tidak ada ukuran kalibernya. Pelurunya kecil, tetapi rentetan peluru terbukti menumbangkan orangutan.
Semuanya sudah salah langkah sejak awal. Kepala Balai TNK Nur Patria mengatakan, sekitar 29.000 hektar area TNK sudah telanjur jadi permukiman, kebun sawit, dan kebun buah. Artinya, sekitar seperenam dari luas TNK yang mencapai hampir 200.000 hektar sudah terjamah.
Manusia berkebun di habitat orangutan dan ini sumber konflik. Celakanya, manusia bisa mengokang senapan. Di Kaltim, hanya berawal dari orangutan merusak kebun nanasnya, warga Desa Teluk Pandan jengkel. Ambil senapan, lalu menembak membabi buta.
Pemerhati orangutan dari Universitas Mulawarman, Yaya Rayadin, menuturkan, warga bisa jengkel dan kalap karena merasa orangutan akan membuat mereka bangkrut. ”Sawit bukan pakan alaminya. Namun, orangutan bisa penasaran dan belajar makan sawit. Perusahaan bisa menanggung kerugian, tetapi tidak bagi warga. Satu orangutan dewasa sehari sanggup makan 30 umbut (pohon sawit muda) yang jika dirupiahkan Rp 3 juta,” ujarnya.
Pemerintah sudah melakukan sekian cara melindungi orangutan. Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007-2017, misalnya. SRAK ini juga akan dilanjutkan pada 2018. Dampak positif SRAK 2010-2017, menurut Yaya, memang ada meski sedikit.
Target pelepasliaran semua orangutan yang ada di tempat rehabilitasi pada akhir 2017 juga tak tercapai. Sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal di lokasi habitat orangutan pun kurang. ”Masih ada warga yang tak tahu orangutan dilindungi,” ujarnya.
Karena itu juga, Yaya tak kaget ketika pada Juli 2016, Badan Konservasi Dunia (IUCN) menaikkan status konservasi tiga subspesies orangutan, yakni Kalimantan-Pongo pygmaeus pygmaeus, Pongo pygmaeus wurmbii, serta Pongo pygmaeus morio menjadi critically endangered. Status itu berarti satu strip di bawah punah. Satu tamparan keras bagi Indonesia mengingat orangutan adalah simbol konservasi satwa liar. Ketiga subspesies orangutan Borneo ini menyusul orangutan sumatera (Pongo abelii)yang duluan berstatus kritis.
Berita pahit lima tahun sebelumnya yang membuat geger dunia internasional, yakni terungkapnya tiga kasus pembantaian orangutan di Kaltim, ternyata bukan kasus terakhir. Kasus yang terjadi pada 2011 itu mungkin baru sebatas membuka mata kita. Saat itulah, untuk pertama kali pembantaian orangutan dibawa ke meja hijau dan pelakunya divonis.
Habitat menyusut
Namun, konflik tetap tak terhindarkan. Sekitar 80 persen dari populasi orangutan di Kaltim yang berada di lanskap Kutai tinggal di kawasan nonkonservasi, seperti kebun sawit, konsesi batubara, sepanjang sungai, hingga kebun warga. Hanya 20 persen di kawasan konservasi (hutan).
Ketua Forum Orangutan Kalteng Okta Simon menekankan, penyebab utama turunnya populasi orangutan adalah hilangnya habitat, yakni hutan, yang beralih fungsi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalteng memaparkan laju deforestasi yang tinggi. Sejak 1990, tutupan hutan yang hilang mencapai 3,17 juta hektar atau 132.402 hektar per tahun. Hutan beralih jadi perkebunan dan pertambangan.
Orangutan adalah penjaga hutan. Perilakunya menyebar biji tumbuhan dengan sendirinya memicu tumbuh pohon sampai terbentuk kanopi hutan yang lebat. Mari selamatkan mereka!
(LUKAS ADI PRASETYA/DIONISIUS REYNALDO T)