Hukuman Rendah, Undang-undang Dinilai Sudah Tak Relevan
Oleh
Nikson Sinaga
·2 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Ancaman hukuman kepada pelaku perdagangan satwa dilindungi dinilai sangat rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera. Undang-undang yang berlaku saat ini sudah berusia 28 tahun dan tidak relevan lagi dengan kondisi satwa dilindungi yang hampir semuanya terancam punah.
”Para pelaku perdagangan satwa dilindungi dan kejahatan lingkungan hidup lainnya selama ini diganjar dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Saat ini kondisinya darurat lingkungan hidup, tidak cocok lagi dengan undang-undang ini,” kata Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre Panut Hadisiswoyo di Medan, Sumatera Utara, Rabu (16/5/2018).
Dalam kasus yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Medan, misalnya, terdakwa kasus dugaan perdagangan satwa dilindungi, M Ilyas (31), dituntut 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. ”M Ilyas bersalah memperniagakan dan memiliki bagian tubuh satwa dilindungi,” kata Jaksa Penuntut Umum kasus ini, Kristina Lumbanraja, ketika membacakan surat tuntutan untuk Ilyas, Rabu.
Ilyas ditangkap oleh aparat Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Sumatera pada Januari 2018. Dari terdakwa disita bagian tubuh satwa dilindungi antara lain satu lembar kulit harimau berukuran 95 x 35 sentimeter, kulit harimau yang masih menempel dengan kuku, serta dompet dan tali pinggang dari kulit harimau.
Selain kulit harimau, kata Kristina, juga disita kalung yang terbuat dari taring beruang, kalung dari kuku beruang, dan selempang dari kulit macan. ”Kami meminta agar barang bukti ini disita untuk dimusnahkan,” kata Kristina.
Kristina mengatakan, Ilyas mendapatkan bagian tubuh satwa dilindungi itu melalui perdagangan online (daring). Bagian tubuh satwa itu dibuat Ilyas menjadi barang-barang tertentu lalu dijualnya melalui media sosial.
Darurat lingkungan
Menurut Panut, dalam keadaan darurat lingkungan hidup seperti saat ini, hukuman-hukuman para pedagang satwa dilindungi masih sangat ringan, yakni berkisar 1-2 tahun. Penegak hukum tidak bisa menjatuhkan hukuman yang lebih berat karena ancaman hukuman penjara perdagangan satwa pada Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1990 adalah pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Panut mengatakan, UU Nomor 5 Tahun 1990 sudah diajukan pemerintah kepada DPR untuk direvisi sejak 10 tahun lalu. Namun, revisi itu selalu ditunda. Padahal, revisi itu sangat mendesak mengingat banyak satwa dilindungi yang saat ini sudah terancam punah. Dia berharap, ancaman hukuman untuk perdagangan satwa ditambah.
Di Sumatera, empat spesies kunci sudah berstatus terancam punah, yakni orangutan sumatera, harimau sumatera, gajah sumatera, dan badak sumatera. Spesies itu terancam oleh perburuan dan perambahan hutan.