SURABAYA, KOMPAS — Imam Katolik sekaligus Guru Besar Emeritus Antropologi Ragawi Universitas Airlangga, Prof Dr Habil Josef Glinka, SVD, Jumat (31/8/2018), disemayamkan di Biara Societas Verbi Divini atau Soverdi di Jalan Polisi Istimewa, Surabaya, Jawa Timur.
Pastor Glinka berpulang dalam usia jelang 87 tahun di Rumah Sakit Katolik Vincentius A Paulo (dahulu Roomsch Katholiek Ziekenhuis dan disingkat RKZ), Kamis (30/8/2018) pukul 20.58 WIB. Glinka tergabung dalam kongregasi para imam Serikat Sabda Allah (SVD) lahir di Chorzow, Polandia, 7 Juni 1931. Sejak 1965, Glinka mengabdikan panggilan hidup di Indonesia dalam misi kepastoran dan keilmuan.
”Menjelang kepergiannya, kami bertiga mendampinginya di ICU,” ujar Bernada Rurit, penulis buku Prof Dr Habil Josef Glinka, SVD Perintis Antropologi Ragawi di Indonesia yang diluncurkan pada Minggu (26/8/2018). Kepergian Glinka untuk selamanya jelas mengejutkan karena kurang dari sepekan peluncuran buku tentang dirinya itu di Surabaya.
Pater Glinka merupakan satu dari empat orang yang dianggap sebagai perintis antropologi ragawi di Indonesia. Glinka yang juga akrab disapa Opa (kakek) oleh mahasiswa Departemen Antropologi Unair itu menyusul tiga perintis yang telah terlebih dahulu berpulang, yakni Prof CARD Snell dan Dr Adi Sukadana (Lie Gwan Liong) dari Unair dan Prof Teuku Jacob dari Universitas Gadjah Mada.
Bernada yang mantan jurnalis itu mengatakan, Glinka seakan mengetahui hidup segera berakhir. Dua pekan jelang kematian, saat masih berbincang dengan Bernada, Glinka sempat bilang bahwa hidupnya sudah berada di fase akhir. ”Sebentar lagi saya ke Kembang Kuning,” kata Bernada menirukan pernyataan Romo Glinka saat ditemui di Biara SVD, Jumat siang.
Kembang Kuning di Surabaya merupakan kompleks makam yang disebut Ereveld dan didirikan pada 1917 di era pemerintahan Kolonial Belanda. Pemakaman itu dikelola Oorlogsgravenstichting (OSG) atau Netherlands War Graves Foundation. Pada awalnya, makam itu diperuntukkan bagi warga Belanda atau Eropa, tetapi berkembang sehingga juga untuk pengebumian warga Kristen dan atau keturunan Tionghoa.
Bernada mengatakan, sehari setelah peluncuran bukunya, Prof Glinka jatuh sakit dan dirawat di ICU. Semasa hidup, Prof Glinka jika sakit amat enggan ke rumah sakit. ”Pastor Glinka perokok. Itulah mengapa beliau tidak suka ke rumah sakit karena pasti tidak bisa merokok,” katanya.
Namun, bujukan rekan-rekan SVD membuat Pastor Glinka luluh sehingga bersedia dibawa ke ICU RKZ. Menjelang kepergiannya, menurut Bernada, Pater Glinka mengatakan amat berbahagia. ”Dia akhirnya mengetahui kejutan yang akan kami berikan berupa pendirian Yayasan Glinka,” ujar Bernada.
Prof Glinka telah menghasilkan puluhan publikasi dan buku tentang antropologi. Dalam penelitiannya, ia membagi penduduk Indonesia atas tiga kelompok rasial. Ketiganya adalah Protomalayid di Indonesia timur, Deuteromalayid di Indonesia barat, serta Dayakid di Kalimantan, Jambi, dan Filipina utara.
Data etnogenesis berguna untuk mendeteksi afiliasi suatu populasi dengan populasi lainnya. Selain itu, mendeteksi tren penyakit tertentu sebab punya hubungan dengan kelompok rasial. Setiap kelompok populasi punya gene pool sendiri yang berkarakter berbeda. Nah, pengelompokan oleh Pastor Glinka menjadi rujukan peneliti antropologi ragawi internasional.
Prof Glinka sejak 1965 mengabadikan hidupnya di Indonesia. Selama 19 tahun mengajar di Seminari Ledalero, Flores, Pastor Glinka turut meluluskan 600 imam yang 14 orang di antaranya menjadi uskup. Kemudian, Prof Glinka selama 27 tahun mengajar di Unair turut membangun dan mengembangkan Departemen Antropologi dengan turut meluluskan 1.000 antropolog yang 14 di antaranya doktor dan 1 guru besar.
Superior General SVD Paul Budi Kleden, SVD, yang sedang berada di Indonesia mengatakan masih sempat mengunjungi Romo Glinka di RKZ Surabaya pada Selasa (28/8/2018) petang. ”Beliau masih membuka mata, melihat, dan menjabat tangan saya. Itu perjumpaan terakhir dengan beliau,” kata Paul.
Menurut Paul, Prof Glinka adalah seorang misionaris yang memahami dan menghayati kecendekiaan sekaligus panggilan hidup membiara. ”Beliau bermisi melalui ilmu pengetahuan menjembatani iman dan akal budi. Paling penting lagi di dalam lingkungan SVD ada tradisi anthropos, dan beliau adalah satu mata rantai penting dari tradisi tersebut. Kami SVD sangat kehilangan seorang misionaris dan ilmuwan besar,” ujarnya.
Dalam pandangan Pastor Glinka, antropologi ragawi mempelajari manusia dari sudut pandang biologis dalam kerangka perkembangan hidup manusia dengan penekanan pada interaksi antara biologi, lingkungan, dan budaya. Kalangan publik kerap keliru mempersepsikan antropologi merupakan studi terhadap fosil, batu, bangunan tua, suku terasing, seni tradisional, bahkan diinterpretasikan sebagai ilmu nujum perbintangan.
Antropologi ragawi di Indonesia, khususnya di Unair, dalam perjalanan yang turut dirintis Prof Glinka dipandang unik sebab berada dalam fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Kendati demikian, antropologi ragawi itu berkelindan dengan antropologi budaya yang di dalamnya termasuk antropologi kesehatan. Ini berbeda dengan antropologi ragawi di Eropa yang berada di fakultas kedokteran atau di Amerika dan Australia di bawah fakultas kedokteran atau fakultas biologi.
Unair punya tiga pakar yang seluruhnya perempuan dan hasil gemblengan Prof Glinka. Mereka adalah Prof Myrta Artaria PhD yang pakar antropologi dental, Dr Toetik Koesbardiati yang pakar palaeoantropologi dan antropologi forensik, serta Dr Lucy Dyah Hendrawati yang pakar biososial manusia.