PALU, KOMPAS – Bencana gempa-tsunami yang melanda Sulawesi Tengah harus dijadikan pembelajaran berharga dalam konteks mitigasi bencana. Tata ruang kota harus disesuaikan dengan potensi bencana untuk meminimalisasi risiko dampak bencana serupa di kemudian hari.
Hal itu mengemuka dalam diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu di Palu, Kamis (11/10) malam.
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko berpendapat, tata ruang kota mesti diubah agar masyarakat dapat tetap tinggal dan hidup harmonis dengan potensi bencana. Bencana yang terjadi pada 28 September lalu itu berdampak besar, khususnya untuk tiga kabupaten/kota di Sulteng, yakni Palu, Donggala, dan Sigi.
Wilayah Sulteng yang dilewati sesar Palu-Koro membuat potensi bencana gempa-tsunami terus ada. Perubahan tata ruang kota diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi daerah yang berpotensi terdampak parah jika gempa melanda. Salah satunya adalah melakukan kajian mendalam untuk wilayah-wilayah yang rawan likuefaksi.
Bencana gempa Sulteng memicu likuefaksi di Balaroa dan Petobo, Palu; serta Jono Oge dan Sibalaya Selatan di Sigi. Likuefaksi menghancurkan ratusan rumah dan menyebabkan korban jiwa yang diduga mencapai ribuan orang.
Selain mengubah tata ruang, Sukmandaru menambahkan, sosialisasi dan edukasi tentang kebencanaan kepada masyarakat juga perlu terus didorong. "Edukasi tentang mitigasi bencana harus dimulai sejak usia dini," ucapnya.
Ideologi pembangunan
M Ichsan Loulembah, anggota MPR-DPD 2004-2009 mewakili Sulteng menekankan pentingnya untuk mulai menghidupkan ideologi pembangunan baru, membangun nir-bencana. Semua kebijakan termasuk upaya memasukkan investasi harus diselenggarakan merujuk pada nir-bencana dan berkelanjutan.
"Jangan hanya karena investor cerewet meminta lokasi, pemda membolehkan, padahal itu rawan bencana," katanya.
Wakil Kepala Museum Sulteng Iksam mengatakan, generasi sekarang dapat belajar dari kearifan nenek moyang Suku Kaili. Pengalaman selama ribuan tahun hidup di daerah rawan gempa-tsunami membuat para leluhur selalu memperhitungkan potensi bencana itu sebelum membangun permukiman.
Ketua Tim Ekspedisi Palu-Koro Trinirmalaningrum menekankan, pemerintah daerah harus mengambil peran aktif dalam mempersiapkan mitigasi bencana. Salah satunya adalah mempelajari, menyosialisasikan kepada masyarakat, dan selalu memperbaharui dokumen rencana kontinjensi yang telah dimiliki daerah.