JAKARTA, KOMPAS — Fenomena cuaca ekstrem, seperti puting beliung dan angin kencang, masih mengancam sejumlah wilayah di Indonesia hingga seminggu ke depan. Interaksi cuaca lokal dengan berbagai faktor global akan terasa di selatan Jawa dan Indonesia bagian barat pada awal musim hujan ini.
Kepala Sub-Bidang Prediksi Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Agie Wandala Putra menjelaskan, karakteristik hujan seminggu terakhir di sejumlah wilayah Indonesia memicu potensi puting beliung, angin kencang, dan hujan deras lebat dalam waktu singkat.
”Cuaca panas di pagi hari serta hujan yang hanya turun di sore hari perlu diwaspadai. Ini masih akan berlangsung hingga enam hari mendatang,” ujarnya di kantor BMKG, Jakarta, Jumat (7/12/2018).
Cuaca panas di pagi hari yang diiringi kenaikan suhu udara mengakibatkan pertumbuhan energi yang besar—dihitung sebagai convective available potential energy (CAPE). Masyarakat disarankan untuk mewaspadai kenaikan suhu hingga 5 derajat celsius antara pukul 7 dan 10 pagi. Kondisi tersebut memicu pertumbuhan awan vertikal yang umumnya berjenis kumulonimbus.
Kumulonimbus berbentuk bunga kol menjulang dengan warna gelap keabu-abuan. Awan tersebut akan menurunkan hujan deras secara tiba-tiba dan bisa diikuti fenomena cuaca ekstrem seperti puting beliung, yang terjadi di Kota Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (6/12/2018) sore. Fenomena tersebut menyebabkan satu orang meninggal, 500-an rumah rusak, dan puluhan pohon tumbang.
Menurut Agie, fenomena di Bogor terjadi karena adanya benturan antara cuaca lokal dan gelombang tropis Rossby dan Kelvin yang bergerak lamban menuju ekuator. Saat ini, gelombang Rossby di sekitar Jawa menjalar ke arah barat daya dan meluruh saat menjauhi ekuator. Adapun gelombang Kelvin saat ini bergerak ke tenggara (Kompas, 7/12/2018).
Gelombang-gelombang tersebut sampai akhir pekan ini masih akan bergerak ke wilayah selatan Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fenomena cuaca ekstrem pun diramalkan akan muncul di daerah tersebut pada akhir pekan ini.
Sementara itu, faktor monsun dingin Asia yang bergerak dari arah utara Benua Asia menuju selatan juga bisa berbenturan dengan cuaca di kawasan Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung. Akibatnya, fenomena cuaca ekstrem bisa terjadi sewaktu-waktu pada minggu depan.
Faktor global seperti osilasi madden-julian (MJO) juga diprediksi akan memengaruhi cuaca di wilayah barat Indonesia delapan hari lagi. MJO adalah salah satu gelombang tropis yang membawa massa udara basah dari barat ke timur, yang bisa bertahan di satu lokasi 3-10 hari dengan siklus perambatan 30-90 hari.
Tibanya MJO akan mengubah karakteristik hujan menjadi lebih merata dan meluas. Karakteristik ini tidak lagi memicu fenomena cuaca ekstrem, tetapi memperbanyak volume air hujan sehingga bisa memicu banjir dan genangan.
”Saat ini, lebih dari 50 persen kawasan di Indonesia sudah masuk musim hujan karena kelembaban atmosfer di atas Indonesia sudah tinggi dan monsun dingin Asia sudah aktif,” ujar Agie.
Antisipasi bencana
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan, peringatan dini cuaca ekstrem, seperti puting beliung yang bersifat lokal, secara spesifik belum bisa dilakukan.
”Antisipasi yang bisa kita lakukan adalah mengenali tanda-tanda potensi akan terjadinya cuaca ekstrem dan berlindung di tempat aman,” kata Sutopo saat dihubungi Kompas. Dengan antisipasi tersebut, dampak bencana alam akibat cuaca ekstrem pada musim hujan dapat dicegah.
Data BNPB sejak Januari 2018 hingga awal Desember mencatat telah ada 2.265 kejadian bencana alam di Indonesia. Sebanyak 698 kejadian disumbang puting beliung dengan lebih dari 7.000 masyarakat terdampak. Lalu, banjir sebanyak 574 kali dengan hampir 700.000 orang terdampak. Diikuti 386 kali tanah longsor dengan hampir 40.000 orang terdampak.
Menurut data BNPB, angka kejadian bencana alam akibat cuaca ekstrem sepanjang 2018 tidak sebesar tahun 2016 dan 2017. Namun, lanjut Agie, pemanasan global meningkatkan frekuensi ekstremitas cuaca. Menurut dia, kawasan tropis sangat resisten dengan pemanasan suhu permukaan laut yang menyebabkan badai tropis mudah terbentuk.
”Akumulasi pemanasan permukaan laut juga lebih berbahaya,” ujarnya. Untuk itu, ia berharap masyarakat lebih peduli pada lingkungan, khususnya dalam pemeliharaan hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia. (ERIKA KURNIA)