Belum Ada Bukti Cuaca Panas Matikan Virus Korona
Musim panas ditunggu dengan harapan pandemi Covid-19 berakhir. Riset menunjukkan, virus penyebab SARS mati pada suhu 56 derajat celsius. Tapi suhu udara tak akan setinggi itu.
Dunia harap-harap cemas. Menantikan datangnya musim panas di belahan bumi utara dan musim kemarau di khatulistiwa. Banyak pihak berharap suhu panas bakal menonaktifkan virus SARS-CoV-2. Dengan demikian, pandemi Covid-19 bisa segera berhenti.
Harapan itu didasarkan antara lain pada penelitian Qasim Bukhari dan Yusuf Jameel dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) yang dipublikasikan di jurnal SSRN, 27 Maret 2020. Mereka menganalisis pola cuaca wilayah yang terdampak virus SARS-CoV-2 sampai 22 Maret 2020.
Didapati kasus Covid-19 banyak terjadi di negara-negara nontropis (koordinat 30 Lintang Utara ke atas) di mana saat itu suhu berkisar 3-17 derajat celsius dengan kelembaban rendah.
Ada perbedaan jumlah kasus Covid-19 di daerah dingin dibandingkan daerah hangat dan lembab karena intensifnya tes virus korona serta tingginya mobilitas orang antarnegara di belahan bumi utara.
Namun, sejumlah negara yang terletak di koordinat antara 30 Lintang Utara dan 30 Lintang Selatan, seperti Australia, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Singapura, dan Taiwan, juga melakukan tes besar-besaran pada warganya. Ternyata jumlah kasus positif per kapita lebih rendah di negara-negara itu dibandingkan beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat.
Karena itu, meski saat ini data yang tersedia kurang memadai karena sedikitnya tes virus korona di banyak negara tropis lain, peneliti berhipotesis bahwa jumlah kasus yang lebih rendah mungkin disebabkan kondisi lembab dan hangat sehingga penyebaran virus lebih lambat.
Baca juga : Saatnya Memakai Masker
Sebelumnya, ada riset Kwok Hung Chan dan kolega dari Departemen Virologi, Universitas Hong Kong, terkait virus SARS-CoV penyebab SARS. Dalam penelitian yang dimuat di jurnal daring Advances In Virology, 1 Oktober 2011, dinyatakan, virus kering SARS-CoV yang menempel pada permukaan halus mampu bertahan hidup lebih dari 5 hari pada suhu 22–25 derajat celsius dan kelembaban relatif 40-50 persen. Kondisi ini merupakan suhu dan kelembaban ruangan berpendingin ruangan.
Sebagaimana diketahui, virus tidak bereplikasi di luar sel makhluk hidup, tetapi virus tetap hidup pada permukaan benda mati dan mampu bereplikasi jika menemukan sel hidup. Kelangsungan hidup virus pada permukaan benda mati dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban lingkungan.
Dalam penelitian didapatkan, virus lebih cepat mati pada suhu dan kelembaban lebih tinggi, dalam hal ini suhu 38 derajat celsius dan kelembaban relatif lebih dari 95 persen. Bahkan, jika dipanaskan pada suhu 56 derajat celsius selama 15 menit, virus langsung mati.
Menurut peneliti, stabilitas virus dalam suhu dan kelembaban rendah memudahkan penyebaran SARS atau sindrom pernapasan akut parah pada penduduk di wilayah subtropis seperti Hong Kong pada musim semi dan di ruangan berpendingin ruangan atau AC.
Itu pula sebabnya, pada sejumlah negara Asia yang berada di wilayah tropis dengan suhu lebih tinggi dan sangat lembab, seperti Malaysia, Indonesia, dan Thailand, tidak terjadi wabah SARS.
Terkait virus korona baru, para ilmuwan dari Universitas Beihang dan Tsinghua, Beijing, China, meneliti laju penularan pada 21-23 Januari 2020 berdasarkan data dari 100 kota di China. Mereka mendapatkan, laju penularan virus penyebab Covid-19 di China bagian utara mencapai 2,5. Angka ini dua kali lebih tinggi dibandingkan laju penularan di China bagian selatan yang sedang musim panas.
Setiap derajat peningkatan suhu dan setiap persen peningkatan kelembaban mampu menurunkan laju penularan virus penyebab Covid-19.
Hasil penelitian yang belum dikaji peneliti sejawat dan dipublikasikan itu memperlihatkan, setiap derajat peningkatan suhu dan setiap persen peningkatan kelembaban mampu menurunkan laju penularan virus penyebab Covid-19.
”Ini menunjukkan kedatangan musim panas dan musim hujan di belahan bumi utara dapat secara efektif mengurangi transmisi Covid-19,” demikian catatan peneliti seperti dikutip Business Insider Singapore, 18 Maret 2020, dan Financial Times, 25 Maret 2020.
Skeptis
Di sisi lain, banyak ahli kesehatan yang skeptis mengingat SARS-CoV-2 merupakan virus baru yang belum banyak diketahui perilakunya. Ahli virologi Universitas Kent dan Ketua Research-Aid Networks, Jeremy Rossman, menulis di The Conversation, 11 Maret 2020, sejauh ini belum bisa dipastikan efek suhu dan kelembaban pada virus korona maupun penyebarannya.
Ia mengingatkan, epidemi SARS 2002-2003 berawal di musim dingin di belahan bumi utara, berpuncak pada bulan Mei yang lebih hangat, dan baru berakhir di Juli 2003. Akhir epidemi ini, menurut dia, mungkin bukan karena dampak cuaca panas, tapi bisa jadi karena masa hidup virus sudah berakhir.
Hal lain, sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) yang disebabkan virus korona lain bermula di Timur Tengah, wilayah dengan cuaca sangat panas. Demikian pula dengan flu babi 2009-2010. Pandemi itu berawal pada musim semi, berlanjut pada musim panas dan berpuncak pada musim dingin.
Berdasarkan fakta itu, Rossman memperkirakan, pandemi masih bisa berlanjut di sejumlah negara meski sudah memasuki musim panas. ”Suhu panas bisa jadi mengurangi penyebaran virus, tapi bukan cuaca panas yang menyebabkan pandemi berhenti,” tuturnya.
Direktur Institut Penyakit Menular dan Alergi Nasional (NIAID) Amerika Serikat yang juga anggota gugus tugas virus korona Gedung Putih, Anthony Fauci, dalam percakapan di Instagram pada 26 Maret 2020 dengan bintang bola basket Steph Curry, seperti dikutip PolitiFact.com, 1 April 2020, menyatakan, virus influenza musiman dan virus korona lain umumnya berkurang keganasannya saat cuaca makin hangat dan lembab dibandingkan pada cuaca dingin dan kering.
Suhu panas bisa jadi mengurangi penyebaran virus, tapi bukan cuaca panas yang menyebabkan pandemi berhenti.
”Itu sebabnya, pada musim panas kasus gangguan pernapasan mulai mereda. Selain itu, saat cuaca hangat orang lebih banyak berada di luar ruang,” ujarnya.
Masalahnya, demikian Fauci, kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada virus korona baru karena kita baru pertama kali berurusan. Asumsi bahwa laju penularan akan menurun boleh jadi masuk akal, tetapi kita tidak bisa mengandalkan hal itu.
Semua kena
Laman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, saat ini virus penyebab Covid-19 merebak di banyak wilayah, termasuk daerah panas dan lembab seperti di Indonesia dan negara-negara tetangga. Berjemur di sinar matahari atau pada suhu lebih dari 25 derajat celsius tidak mencegah penularan virus. Namun, paparan sinar matahari bisa meningkatkan jumlah vitamin D yang berperan dalam pembentukan tulang dan menjaga kekebalan tubuh.
Berendam ataupun mandi air panas juga tidak menghalangi tertular virus. Suhu tubuh normal manusia akan tetap sekitar 36,5-37 derajat celsius. Hasil riset menunjukkan, virus SARS mati pada suhu 56 derajat celsius. Namun, jika mandi air dengan suhu setinggi itu, kulit kita bakal terbakar.
Cara terbaik untuk menghindari tertular virus adalah rajin mencuci tangan dengan air dan sabun. Hal itu mengurangi jumlah virus yang terbawa tangan dan kemungkinan terinfeksi saat kita menyentuh mata, mulut, dan hidung.
Ahli epidemiologi Harvard, Marc Lipsitch, menekankan pentingnya isolasi penderita dan pembatasan sosial. Menurut dia, meredanya epidemi SARS tahun 2002-2003 pada musim panas bukan disebabkan cuaca, melainkan hasil intervensi kesehatan masyarakat secara intensif di sejumlah kota di China daratan, Hong Kong, Vietnam, Thailand, Kanada, dan tempat lain.
Jadi, udara panas tidak mematikan virus, hanya memperlambat penyebaran. Sembari menunggu para ahli menemukan obat dan cara menghindari penularan virus penyebab Covid-19, yang bisa kita lakukan adalah menjaga kebersihan serta menjaga jarak aman dengan orang lain untuk menghindari kemungkinan terpapar virus.