Persoalan deforestasi di Indonesia masih terus terjadi. Untuk menahan laju penggundulan hutan tersebut, pemerintah perlu berupaya lebih serius.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan deforestasi neto Indonesia pada tahun 2018-2019 seluas 462.400 hektar. Tingginya laju deforestasi tersebut mencerminkan belum optimalnya upaya mengatasi persoalan lingkungan itu.
Data luas deforestasi tersebut merupakan penghitungan deforestasi di dalam dan di luar area hutan Indonesia yang berasal dari deforestasi bruto 465.500 hektar dikurangi angka deforestasi yang didapatkan dari pengamatan citra satelit seluas 3.100 hektar.
Dengan demikian, secara keseluruhan, hasil pemantauan hutan Indonesia tahun 2019 menunjukkan luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia seluas 94,1 juta ha atau 50,1 persen dari total daratan.
”Dari jumlah itu, sekitar 92,3 persen dari total luas berhutan atau 86,9 juta hektar (ha), berada dalam kawasan hutan,” kata Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PKTL KLHK) Sigit Hardwinarto, dalam siaran pers, Kamis (23/4/2020), di Jakarta.
Sebagai pembanding, hasil pemantauan hutan Indonesia tahun 2018 menunjukkan deforestasi neto tahun 2017-2018, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia, seluas 439.400 ha, yang berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 493.300 ha dikurangi reforestasi (hasil pemantauan citra satelit) sebesar 53.900 ha.
Apabila membandingkan hasil pemantauan tahun 2018 dan 2019, terjadi kenaikan 5,2 persen dan deforestasi bruto terjadi penurunan 5,6 persen. ”Hal ini menunjukkan, berbagai upaya yang dilakukan Kementerian LHK akhir-akhir ini menuai hasil yang signifikan,” katanya.
Berbagai upaya tersebut meliputi, antara lain, penerapan Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut atau Inpres Moratorium, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, serta pengendalian kerusakan gambut.
Hal ini menunjukkan, berbagai upaya yang dilakukan Kementerian LHK akhir-akhir ini menuai hasil yang signifikan.
Selain itu, upaya lain yang dilakukan adalah pengendalian perubahan iklim, pembatasan perubahan alokasi kawasan hutan untuk sektor non-kehutanan, penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH atau tanah obyek reforma agrarian/TORA), pengelolaan hutan lestari, perhutanan sosial, dan rehabilitasi hutan dan lahan.
Terkait deforestasi pada tahun 2019, Ditjen PKTL menyatakan luas deforestasi tertinggi berada di kelas hutan sekunder, yaitu 162.800 ha. Luasan ini terdiri dari 55,7 persen atau 90.600 ha di dalam kawasan hutan dan sisanya seluas 72.200 ha atau 44,3 persen berada di luar kawasan hutan.
Perhitungan luas deforestasi sejak periode tahun 2011-2012 merupakan hasil perhitungan deforestasi neto yang sudah mempertimbangkan kegiatan reforestasi. Sementara perhitungan pada periode sebelumnya masih menggunakan deforestasi bruto.
Kondisi penutupan lahan dan hutan Indonesia bersifat dinamis, seiring dengan kebutuhan lahan untuk pembangunan dan kegiatan lainnya. Perubahan tutupan hutan terjadi dari waktu ke waktu, di antaranya karena konversi hutan untuk pembangunan sektor non-kehutanan, perambahan, dan kebakaran hutan.
Lebih serius
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya mengatakan, Indonesia masih perlu upaya lebih serius untuk menahan laju deforestasi. Ia menunjukkan perbandingan luas deforestasi 2018 dan 2019 merupakan bukti bahwa Indonesia baru bisa menekan laju deforestasi seluas 28.000 ha.
Ia mengingatkan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia (NDC) hanya memberi toleransi deforestasi seluas 325.000 ha setiap tahun mulai 2020-2030 atau 3,25 juta dalam 10 tahun mendatang. Ini artinya pada tahun 2020 Indonesia harus berupaya untuk mengurangi luas deforestasi 137.400 ha dari tahun 2019.
Teguh Surya menambahkan, tantangan lain pada tahun 2020 adalah realisasi target restorasi gambut yang masih kecil, khususnya pada wilayah berizin/dibebani konsesi. Ia menyebut angkanya hanya 8 persen atau 143.448 ha dari target restorasi pada wilayah konsesi seluas total 1,7 juta ha.
Pekerjaan rumah yang masih sangat besar itu juga dihadapkan pada masa tugas Badan Restorasi Gambut (BRG) yang akan berakhir pada akhir tahun 2020. Ini seiring berakhirnya masa berlaku Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 yang menjadi dasar pembentukan BRG. Hingga saat ini ia belum melihat kejelasan masa depan restorasi gambut pasca-Perpres tersebut.
Ia berharap KLHK membuka ruang kolaborasi multipihak, termasuk organisasi masyarakat sipil. ”Kritik, temuan, dan laporan CSO harus dipandang sebagai upaya membantu KLHK dalam melakukan monitoring di tingkat tapak untuk perbaikan yang signifikan sebagaimana yang dijanjikan,” ujarnya.