Lintang Kemukus dan Pertanda Bencana Pandemi Covid-19
Penyebaran Covid-19 ke seluruh dunia menimbulkan derita manusia. Mereka yang sakit dan sehat sama-sama menanggung bencana. Di tengah ketidakberdayaan, manusia mencari pegangan untuk memberikan rasa aman.
Penyebaran Covid-19 ke seluruh dunia menimbulkan derita manusia. Mereka yang sakit dan sehat sama-sama menanggung bencana. Di tengah kebingungan dan ketidakberdayaan atas apa yang sedang dan akan terjadi, manusia berusaha mencari pegangan pemberi rasa aman.
Sebagian orang menciptakan rasa aman dengan membangun keyakinan yang mengaitkan pandemi dengan tanda-tanda alam. Fenomena alam itulah yang akan dianggap sebagai pertanda atau yang bertanggung jawab atas petaka yang sedang terjadi.
Salah satu fenomena alam yang dianggap berhubungan dengan pagebluk Covid-19 adalah kemunculan lintang kemukus atau komet. Sebagian orang Jawa meyakini, kemunculan obyek ini akan membawa ontran-ontran, kekacauan atau bencana di masyarakat.
Guru Besar Emeritus Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) Bambang Hidayat, Rabu (22/4/2020), mengatakan, komet dalam masyarakat Jawa dinamai lintang kemukus karena di salah satu ujung ”bintang”-nya tampak mengeluarkan kukus alias asap. Dalam bahasa Indonesia, komet dikenal sebagai bintang berekor karena asap yang muncul bisa sangat panjang seperti ekor.
Sementara itu, penyebutan lintang yang berarti bintang terjadi karena masyarakat dulu belum mengenal pembedaan obyek langit seperti dalam astronomi modern sekarang. Saat itu, apa pun yang terlihat terang di langit kecuali Bulan, baik planet, rasi, komet atau meteor, semua disebut lintang.
Lintang kemukus yang dikaitkan dengan pandemi Covid-19 adalah komet ATLAS (C/2019 Y4). Komet ini ditemukan tim survei astronomi robotik Asteroid Terrestrial-impact Last Alert System (ATLAS) di Hawaii, Amerika Serikat, 28 Desember 2019. Saat itu, komet dengan magnitudo atau tingkat kecerlangan 20 tersebut terlihat di dekat rasi Ursa Major pada jarak 439 juta kilometer (km) dari Matahari.
Seiring dengan waktu, komet makin dekat ke Matahari hingga kecerlangan komet berubah signifikan. Kecerlangan komet mencapai magnitudo 8 (makin kecil magnitudo artinya makin terang) pada akhir Maret 2020. Namun, drastisnya peningkatan kecerlangan komet itu justru mengkhawatirkan karena jadi tanda inti komet akan pecah sebelum mencapai titik terdekatnya ke Matahari.
Kekhawatiran itu akhirnya menjadi nyata. Pada awal April lalu, inti komet tampak memanjang searah dengan sumbu ekornya. Itu menjadi tanda awal kehancuran komet. Pengamatan pada 12 April 2020 menunjukkan inti komet ATLAS sudah terpecah menjadi empat bagian.
Kehancuran itu membuat astronom kecewa. Sebelumnya, mereka berharap ATLAS akan bertambah terang perlahan hingga saat mencapai titik terdekatnya dengan Matahari pada 31 Mei mendatang dia akan terlihat seterang Venus dengan magnitudo 2 hingga minus 6. Jika terwujud, itu akan jadi pemandangan langit yang spektakuler yang sudah lama tidak dinikmati astronom.
Komet ATLAS memang memiliki karakter unik. Komet ini butuh lebih dari enam milenium untuk satu kali mengelilingi Matahari. Dikutip dari earthsky.org, komet ini punya lintasan yang mirip dengan komet terang Great Comet 1844 (C/1844 Y1). Diduga, Great Comet 1844 dan ATLAS dulunya berasal dari induk yang sama, sebelum sang induk pecah menjadi beberapa bagian.
”Komet dengan karakter seperti komet ATLAS memang jarang, tetapi tidak istimewa,” kata peneliti asteroid dan komet di Program Studi Astronomi ITB Budi Dermawan.
Titik terdekat komet ATLAS dengan Matahari hanya mencapai 37,8 juta km. Itu berarti jauh lebih dekat dibandingkan dengan jarak Merkurius sebagai planet terdekat ke Matahari yang rata-rata hanya 57,9 juta km.
Komet dengan karakter seperti komet ATLAS memang jarang, tetapi tidak istimewa.
Karena itu, mengaitkan ATLAS dengan pandemi Covid-19 dianggap tak rasional. Terlebih, Almanak Astronomi Indonesia menyebut, sejak Desember 2019, saat Covid-19 mulai muncul di China, hingga April 2020, ada 17 komet reguler yang mencapai titik terdekatnya dengan Matahari. ATLAS tak masuk dalam almanak karena termasuk komet baru.
Selain ATLAS, komet baru lain yang mendekati Matahari pada awal Maret lalu adalah 2I/Borisov. Itu merupakan komet yang unik karena termasuk komet antarbintang. Dia masuk ke Tata Surya karena terjebak gravitasi Matahari. Kini, komet yang intinya juga pecah saat mendekati Matahari itu sedang meneruskan perjalanannya menuju bintang lain.
Komet lain yang juga terlihat saat ini dan termasuk komet baru adalah komet SWAN (C/2020 F8) yang ditemukan pada 11 April 2020. Komet yang terlihat di belahan langit selatan itu diprediksi mencapai titik terdekatnya ke Bumi pada jarak 84 juta km pada 12 Mei 2020 dan tiba pada jarak terpendeknya dengan Matahari pada jarak 64,4 juta km pada 27 Mei 2020.
Jika komet ATLAS tidak istimewa, mengapa dia yang dijadikan penanda Covid-19 yang melanda seluruh Bumi?
Legenda
Kebiasaan sebagian masyarakat Jawa mengaitkan kemunculan komet dengan peristiwa yang terjadi sudah berlangsung lama. Peneliti etnoastronomi di Planetarium dan Observatorium Jakarta yang juga pembina Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, Widya Sawitar, mengatakan, legenda lintang kemukus setidaknya tercatat dalam Serat Babad Segaluh Dumugi Mataram.
Saat itu, keris Kyai Condong Campur keluar dari tempat penyimpanannya hingga memicu wabah penyakit di Majapahit yang menyerang banyak orang, termasuk permaisuri Prabu Brawijaya, Dwarawati. Kemudian, terjadi pertempuran antara keris Kyai Condong Campur dan keris Kyai Sengkelat. Kyai Condong Campur pun kalah dan kembali ke tempatnya hingga wabah berakhir.
Brawijaya pun memerintahkan untuk menghancurkan keris Kyai Condong Campur. Saat keris dibakar hingga warnanya menjadi merah membara, tiba-tiba Kyai Condong Campur melesat ke angkasa dan menjelma menjadi lintang kemukus yang disaksikan banyak orang.
Dari situlah, lintang kemukus dianggap sebagian masyarakat Jawa sebagai pertanda bencana, kerusuhan, kekacauan, perang, kelaparan, kematian, atau wabah penyakit. Keyakinan itu tetap bertahan hingga kini.
Bambang mencatat setidaknya ada dua peristiwa sosial besar di Indonesia pasca-kemerdekaan yang dikaitkan dengan komet.
Peristiwa itu adalah tragedi G30S yang ditautkan dengan komet Ikeya-Seki (C/1965 S1) yang terlihat sejak pertengahan September 1965. Kejadian lainnya adalah meninggalnya proklamator Indonesia Soekarno yang dihubungkan dengan komet Bennett (C/1969 Y1), mencapai titik terdekatnya dengan Bumi pada 26 Maret 1970, tiga bulan sebelum meninggalnya Soekarno.
”Komet Bennett-lah yang diduga menandai akhir hidup Bung Karno,” ujar Bambang yang tidak memercayai kemunculan komet terkait dengan peristiwa di Bumi.
Tak hanya menandai kemunculannya, masyarakat Jawa juga menandai arah mata angin munculnya komet dengan makna tertentu. Ni Nyoman Dhitasari di langitselatan.com, 24 Oktober 2015, yang mengutip buku Sejarah Kutha Sala: Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu karya RM Ng Tiknopranoto dan R Mardisuwignya menyebut secara umum penampakan komet membawa hal kurang baik pada semua arah mata angin kecuali jika komet muncul di barat yang menjadi tanda penobatan raja.
Saat ini, komet ATLAS itu terlihat di arah utara. Jika saat ditemukan komet itu ada di arah rasi Ursa Major, selama akhir Maret hingga April, komet akan terlihat di rasi Camelopordalis atau jerapah. Dalam buku Tiknopranoto dan Mardisuwignya tersebut, kemunculan komet di arah utara adalah tanda ada raja yang kalut pikirannya karena kekeruhan dalam pemerintahan.
Rasa aman
Dalam ranah pikir rasional, gerak benda-benda langit tidak memiliki kaitan langsung dengan peristiwa yang dialami manusia di Bumi karena semua benda langit, termasuk komet, memiliki gerak yang teratur dalam lintasannya.
Di masa lalu, manusia memang menjadikan gerak benda langit sebagai pertanda yang menentukan manusia. Namun, seiring dengan berkembangnya pemikiran dan rasionalitas manusia, keyakinan itu mulai banyak ditinggalkan.
Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado Taufiq Pasiak mengatakan, upaya manusia mengaitkan fenomena alam dengan peristiwa yang terjadi di Bumi merupakan bagian dari upaya manusia menghadapi ketidakpastian.
”Otak manusia adalah belief generating machine, manusia menciptakan kepercayaan untuk memberikan rasa aman,” katanya.
Ketidakpastian adalah musuh terbesar manusia. Untuk mengatasi itu, otak manusia akan membangun mekanisme untuk membuat hal yang tidak jelas menjadi jelas. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan cara apa pun, termasuk mengambil semua informasi di sekitarnya, tidak peduli benar atau salah ataupun rasional atau tidak, demi memberikan rasa aman dan nyaman.
Meski upaya sebagian orang mengaitkan komet ATLAS dengan pandemi Covid-19 bisa dipahami sebagai mekanisme bertahan hidup, di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19 sepatutnya kita mengedepankan langkah-langkah rasional untuk menanggulangi wabah secara terukur. Kepanikan berlebihan dalam mengambil keputusan akibat lemahnya rasionalitas justru bisa membawa manusia dalam penderitaan yang panjang.