Riset dan inovasi terkait penanganan Covid-19 yang dilakukan peneliti dalam negeri semakin menjanjikan. Riset pengobatan pasien Covid-19 dan sejumlah alat kesehatan, seperti alat tes diagnosis Covid-19, dimanfaatkan
Oleh
TAN/AIK
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset dan inovasi terkait penanganan Covid-19 yang dilakukan peneliti dalam negeri semakin menjanjikan. Riset pengobatan pasien Covid-19 dan sejumlah alat kesehatan, seperti alat tes diagnosis Covid-19, segera dimanfaatkan.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro, di Jakarta, Minggu (3/5/2020), mengatakan, alat tes diagnosis Covid-19 ditargetkan diproduksi secara massal akhir Mei 2020. Sekitar 50.000 unit alat tes berbasis polymerase chain reaction (PCR) siap diproduksi pada tahap awal.
”Produksi test kit diperlukan untuk mendukung pemeriksaan secara masif. Test kit yang kita kembangkan punya kelebihan karena memakai virus dari transmisi lokal, sedangkan test kit yang diimpor memakai virus dari negara penghasil alat tersebut,” ujarnya.
Sementara inovasi alat bantu napas atau ventilator ditargetkan mulai diproduksi pertengahan Mei oleh mitra industri. Empat prototipe ventilator diuji ketahanan di Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan Kementerian Kesehatan. Alat itu merupakan hasil inovasi dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, serta PT Dharma.
Selain itu, Kemenristek/BRIN bersama Kemenkes juga mengembangkan riset terapi plasma konvalesen bagi pasien Covid-19. Terapi ini diberikan kepada pasien dengan memanfaatkan plasma darah pasien yang sembuh. ”Riset ini mulai dilakukan di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto) dan hasilnya melegakan. Riset melibatkan banyak rumah sakit juga, misalnya di Malang, Yogyakarta, dan Solo,” katanya.
Kemenristek/BRIN juga melakukan uji klinis jahe merah, jambu biji, dan minyak kelapa murni untuk meningkatkan ketahanan tubuh dari paparan Covid-19. ”Kami sudah melakukan systematic review, studi bioinformatika, dan saat ini uji klinis di Rumah Sakit Wisma Atlet,” ujarnya.
Usia produktif
Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, per 3 Mei 2020 ada 11.192 kasus Covid-19. Dari jumlah total kasus itu, 845 pasien meninggal dan 1.876 pasien sembuh. Adapun jumlah orang dalam pemantauan (ODP) 236.369 orang dan 23.130 pasien dalam pengawasan (PDP).
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Acmad Yurianto, pekan lalu, menyatakan, kasus meninggal akibat Covid-19 di Indonesia paling banyak di rentang usia 30-59 tahun, yaitu 351 orang. ”Ini memang anomali dibanding negara lain, seperti di Eropa, Amerika, dan China, di mana mayoritas pasien meninggal adalah lanjut usia,” kata Gindo Tampublon, ahli kesehatan masyarakat yang kini mengajar di Universitas Manchester, Inggris, kemarin.
Meski pendataan pasien yang dilakukan pemerintah di Indonesia banyak dikritik, termasuk belum memasukkan PDP yang meninggal, data ini menggambarkan banyaknya kelompok usia produktif meninggal akibat Covid-19. Anomali di Indonesia ini diduga terkait tingginya risiko orang muda di Indonesia terhadap penyakit jantung.
Berdasarkan risetnya bersama Maharani yang dipublikasikan di jurnal PLoS One pada 2014, dua per tiga penduduk Indonesia berusia di atas 40 tahun berisiko tinggi meninggal karena penyakit jantung dalam rentang delapan tahun. ”Pola umur orang Indonesia berisiko penyakit jantung 20 tahun lebih awal dibanding orang Eropa,” ujarnya.
Mereka yang memiliki penyakit jantung paling berisiko jika terpapar Covid-19. ”Karena di Indonesia tingkat kematian kelompok usia produktif sangat tinggi, Covid-19 berpotensi memperparah dampak ekonomi jangka panjang karena kelompok ini jadi motor ekonomi keluarga dan negara,” ujarnya.
Agus Dwi Susanto, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, yang juga dokter paru di Rumah Sakit Persahabatan, mengatakan, 63 persen pasien dalam kondisi parah yang dirawat di RS Persahabatan memiliki penyakit penyerta. ”Yang paling tinggi adalah hipertensi, berikutnya diabetes, jantung, kemudian paru-paru kronik,” ujarnya.