Didera Pandemi, Komitmen Indonesia Mengurangi Emisi Tak Akan Surut
Upaya pengendalian perubahan iklim ini dinilai sangat penting bagi Indonesia. Karena itu, Indonesia memastikan tidak akan mengurangi komitmen penurunan emisi gas rumah kaca di masa pandemi Covid-19
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memastikan tidak akan mengurangi komitmen penurunan emisi gas rumah kaca meski terjadi realokasi anggaran dan program di lapangan untuk penanganan pandemi Covid-19. Meski klasik dan sering disebut-sebut, kekuatan kolaborasi pemerintah daerah, pemerintah pusat, lembaga masyarakat nasional/lokal/internasional, dan swasta masih memiliki potensi tinggi untuk digali demi capaian penurunan emisi.
Hingga saat ini, pandemi Covid-19 telah menurunkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia serta dunia. Di sisi lain, kondisi ini membuat banyak pihak berharap bahwa Indonesia ataupun negara-negara di dunia mengambil jalan ramah iklim, ramah lingkungan, dan ramah karbon dalam upaya pemulihan ekonomi pascapandemi.
”Covid-19 bukan excuse untuk back sliding dari komitmen NDC (dokumen nasional terkait kontribusi nasional penurunan emisi sesuai Kesepakatan Paris),” kata Nur Masripatin, Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (9/6/2020), dalam diskusi daring yang digelar Environment Institute, World Resources Institute Indonesia, dan APIK Indonesia Network.
Ketiadaan opsi untuk ”pelemahan komitmen” tersebut merupakan aturan main yang disepakati para pihak dalam Kesepakatan Paris. Dalam NDC, Indonesia menargetkan penurunan emisi 29-41 persen.
Upaya pengendalian perubahan iklim ini dinilai sangat penting bagi Indonesia.
Upaya pengendalian perubahan iklim ini dinilai sangat penting bagi Indonesia. Nur Masripatin mengatakan, perubahan iklim memiliki keterkaitan dengan kepentingan ketahanan nasional bagi Indonesia sekaligus upaya menjalankan amanat konstitusi Pasal 28H, yaitu menjamin kehidupan yang layak dan lingkungan hidup yang sehat bagi masyarakat.
”Dalam berbagai kesempatan Bu Menteri (LHK) selalu mengatakan, ada atau tidak ada Paris Agreement, kita harus menjalankan komitmen perubahan iklim,” katanya.
Kesepakatan Paris yang telah diratifikasi Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, katanya, telah diterjemahkan dalam peta jalan yang memberikan panduan bagi sektor dan pemerintah daerah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Ia mengatakan, di semua sektor terdapat unsur kontribusi subnasional atau pemerintah daerah, khususnya di sektor industri dan pertanian. Di situ terdapat pula peluang sektor swasta untuk membantu.
Alihkan anggaran
Nur Masripatin mengakui pemerintah dalam menghadapi pandemi telah menyusun ulang dan mengalihkan anggaran untuk penanganan Covid-19. Meski tak menyebut besaran pemotongan anggaran bagi perubahan iklim, dalam diskusi terpisah disampaikan, pos anggaran pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dipangkas hampir 40 persen. Padahal, kebakaran hutan dan lahan merupakan sumber utama emisi Indonesia secara langsung maupun tidak langsung ketika terjadi kerusakan gambut.
”Maka ada sejumlah proses (di mana) kita membahas inovasi kebijakan (perlu) dilakukan agar komitmen ini tidak hanya tergantung pendanaan pemerintah,” katanya. Ia pun menekankan agar pengendalian perubahan iklim tak hanya bertumpu pada pemerintah, tetapi juga dikerjakan bersama oleh semua pihak.
Mahawan Karuniasa, Ketua Umum APIK Indonesia Network, mengharapkan saat pandemi ini bisa menjadi transisi untuk menyiapkan kondisi pascapandemi dengan ”perilaku baru”. ”Normal baru tidak hanya pakai masker, tetapi juga beyond normality karena masih ada isu iklim. Kita harus membangun ke arah yang baik. Jangan sampai emisi kembali normal,” katanya.
Capai Rp 695,2 triliun
Adi Budiarso, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu), mengatakan, biaya penanganan Covid-19 mencapai Rp 695,2 triliun. Dukungan APBN 2020 untuk penanganan Covid-19 dan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akan berdampak pada perubahan postur APBN tahun 2020.
Pelebaran defisit dari 5,07 persen pendapatan domestik bruto (Perpres Nomor 54 Tahun 2020) menjadi 6,34 persen PDB. ”Di sisi lain, perlu senantiasa dikembangkan inovasi pendanaan perubahan iklim guna mendukung pencapaian target NDC 2030,” ujarnya.
Oleh karena itu, perlu dikaji dampak stimulus dalam PEN terhadap pencapaian target NDC tersebut. Disebutkan, dalam PEN terdapat beberapa alokasi yang bisa dimanfaatkan untuk dukungan investasi ramah lingkungan.
”Rp 18,4 triliun alokasi yang bisa digunakan untuk dukungan padat karya kementerian/lembaga bisa digunakan untuk adaptasi (perubahan iklim). Walaupun nanti tidak secara khusus dedicated untuk adaptasi, itu bisa diarahkan ke dukungan padat karya, ada by product (hasil samping) yang bisa dimanfaatkan melalui PEN,” ujar Noor Syaifudin dari BKF Kemenkeu.
Selain sumber APBN, pembiayaan perubahan iklim berasal dari mobilisasi dana Green Climate Fund, SDG Indonesia One, dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).