Pemerintah kembali menjanjikan untuk merealisasikan peraturan perlindungan kepada aktivis dan masyarakat pembela hak asasi manusia terkait lingkungan. Hingga kini, mereka mengalami kriminalisasi hingga pembunuhan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kembali menyatakan segera menerbitkan aturan untuk mencegah dan menangani tindakan pembalasan terhadap individu atau kelompok masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup. Aturan ini perlu segera diterbitkan karena selama bertahun-tahun dan hingga kini telah banyak pembela hak asasi manusia terkait lingkungan yang mendapatkan intimidasi, kriminalisasi, bahkan pembunuhan.
Aturan yang dikenal dengan istilah anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) ini akan menjadi aturan main dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 66 UU itu disebutkan, kelompok masyarakat tersebut tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Ilyas Asaad dalam diskusi daring bertajuk ”Mewujudkan Perlindungan Negara bagi Pembela HAM Sektor Lingkungan”, Kamis (23/7/2020), menyampaikan, draf peraturan menteri LHK anti-SLAPP sudah cukup baik dan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk diterbitkan.
”Peraturan menteri ini kami gagas beberapa waktu yang lalu dan telah ditunggu-tunggu. Mudah-mudahan ini memuaskan dan cukup melindungi (pembela HAM sektor lingkungan). Kalau ada masukan kembali, tentu saja kami masih bisa diskusikan draf ini untuk menyempurnakan,” ujarnya.
Menurut Ilyas, aparat penegak hukum juga harus mendapat pemahaman terkait aturan anti-SLAPP ini. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi potensi tindakan pembalasan kepada pembela HAM sektor lingkungan dari pihak-pihak tertentu.
Ilyas menjelaskan, masyarakat dalam aspek lingkungan hidup dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, masyarakat yang terkena dampak secara langsung. Kedua, masyarakat yang terpengaruh terhadap kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan. Adapun kelompok ketiga adalah pemerhati lingkungan.
”Ketiga kelompok ini memiliki hak mendapat lingkungan yang baik dan sehat, mendapat pendidikan, memberikan usulan atau keberatan apabila ada rencana yang tidak sesuai, hingga melakukan pengaduan,” ujarnya.
Selain UU No 32/2009, aturan tentang perlindungan hukum bagi kelompok masyarakat tersebut juga tertuang dalam Pasal 58 Ayat (2) UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Perlindungan hukum tersebut didapat saat proses penyelidikan, penyidikan, dan persidangan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli.
”Secara legal formal, aturan perlindungan itu cukup kuat. Ada undang-undang dasar sebagai hak konstitusi dan undang-undang sebagai aturan turunannya,” ucapnya.
Belum tersedia
Komisioner Komisi Nasional HAM, Sandrayati Moniaga, mengatakan, meski perlindungan HAM sudah diakui dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundangan, sistem perlindungan HAM berbasis keamanan korban belum tersedia secara memadai.
Berdasarkan jumlah aduan yang diterima Komnas HAM, terdapat puluhan kasus serangan dan ancaman terhadap para pembela HAM pada periode 2015-2019. Bentuk serangan dan ancaman itu, antara lain, kriminalisasi, perusakan, pembubaran kegiatan, pengusiran, pembakaran, dan kekerasan yang berakibat kematian.
Sementara Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) juga mencatat, pada 2019 terdapat 127 individu dan 50 kelompok pembela HAM sektor lingkungan yang menjadi korban kekerasan.
Anggota Komisi III DPR Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan, perlindungan bagi pembela HAM sektor lingkungan hidup memang belum komprehensif. Oleh karena itu, dibutuhkan sejumlah strategi agar pembela HAM sektor lingkungan mendapatkan perlindungan yang maksimal.
Strategi pertama yang dapat dilakukan ialah dengan mengubah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan menambahkan ketentuan tersebut di dalam bab khusus. Saat ini, RUU tentang Perubahan atas UU Hak Asasi Manusia menjadi salah satu usul pemerintah untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024.
Strategi kedua adalah dengan mengubah UU No 32/2009, khususnya ketentuan Pasal 66. Sementara strategi ketiga dapat dilakukan dengan memasukkan ketentuan perlindungan bagi pembela HAM sektor lingkungan ke dalam RUU Komisi Nasional Perlindungan Lingkungan Hidup.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Theo Litaay, menegaskan, perlindungan terhadap pembela HAM tetap menjadi agenda dan prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode kedua. Pemerintah juga memahami HAM dalam arti yang lebih komprehensif, baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya.