Didera Pandemi, Indonesia Tetap Berpartisipasi Aktif dalam Forum Perubahan Iklim
Pandemi Covid-19 membuat perundingan perubahan iklim COP-26 yang harus digelar akhir tahun ini di Glasgow Inggris ditunda tahun depan. Indonesia tetap berpartisipasi aktif menyampaikan dan menjalankan komitmennya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pandemi Covid-19 membuat sejumlah agenda Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim atau UNFCCC ditunda pelaksanaannya pada 2021. Hal tersebut tidak menyurutkan komitmen Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam forum perubahan iklim. Indonesia tetap menyiapkan pembaruan sejumlah dokumen untuk menegaskan komitmennya.
Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wahyu Marjaka menyampaikan, beberapa agenda UNFCCC tetap dilaksanakan secara virtual meski mayoritas diundur pada 2021. Beberapa yang telah diselenggarakan yaitu agenda diskusi "June Momentum for Climate Change" pada 1-10 Juni 2020.
“Indonesia sebagai anggota G77 dan anggota aktif berpartisipasi aktif dalam setiap forum perundingan perubahan iklim global. Indonesia juga mendapatkan pendanaan dari Norwegia dan Green Climate Fund (GCF). Ini artinya komitmen Indonesia tetap dijalankan,” ujar Wahyu dalam konferensi pers secara daring, Jumat (11/9/2020).
Pada tingkat nasional, saat ini Indonesia tengah mengirimkan pembaruan dokumen nasional terkait kontribusi nasional penurunan emisi sesuai Kesepakatan Paris (NDC) ke UNFCCC. Dokumen tersebut akan segera dikirimkan setelah mendapatkan persetujuan presiden.
Selain itu, KLHK juga sedang menyiapkan teknis penyusunan dokumen Indonesia 2050 Vision on Long-Term Climate Strategy (LTS) for Low Carbon and Climate Resilient. Dokumen LTS menjadi proyeksi Indonesia untuk menurunkan karbon hingga 2050 yang disinkronisasikan dengan program strategis nasional.
Wahyu menyatakan, COP-25 di Madrid, Spanyol, pada Desember 2019 memang berakhir kurang memuaskan. Namun, hal tersebut tidak menjadi alasan Indonesia menurunkan komitmen dalam pengendalian perubahan iklim.
Tidak tercapainya kesepakatan yang jelas pada COP-25 membuat Indonesia mendorong negara-negara lain untuk mengitegrasikan isu laut ke dalam proses UNFCCC. Hasilnya, isu laut tercantum dalam Decision 1/CP 25 dengan mandat COP untuk penyelenggaraan Dialogue on the Ocean and Climate Change pada SBSTA (the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) yang direncanakan tahun 2020.
Indonesia juga berhasil menempatkan dua orang negosiator untuk menduduki posisi pada beberapa badan dibawah UNFCCC yakni di Compliance Committee Under Kyoto Protocol dan Alternate Member of the Local Communities and Indigenous People Platform (LCIPP). Keberhasilan menduduki posisi ini membuat Indonesia dipercaya dan memiliki kapasitas untuk memastikan semua aturan ditaati negara-negara lain.
Pada akhir Agustus lalu, Indonesia juga mendapatkan dana dari skema pembayaran berbasis hasil senilai 103,78 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,5 triliun dari GCF. Dana ini diberikan sebagai bentuk keberhasilan Indonesia dalam program Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau REDD+ yang mencapai 20,25 juta ton setara karbondioksida pada 2014-2016.
Dari hasil penghitungan secara keseluruhan, pada 2013-2017 Indonesia berhasil menurunkan emisi sebesar 210 juta ton setara karbondioksida. Indonesia juga terverifikasi telah menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 24,7 persen pada 2017. Angka penurunan emisi GRK ini lebih besar dari tahun 2016 yang mencapai 10,8 persen.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, Indonesia menjadi salah satu negara yang cukup disegani di tingkat global karena pengaruhnya yang cukup kuat di perundingan perubahan iklim.
Ia mengatakan secara umum, substansi perundingan mencakup mitigasi, adaptasi, teknologi, peningkatan kapasitas dan pendanaan, keterbukaan dalam pelaporan, dan kepatuhan. Hal lain yaitu pengembangan kerjasama internasional untuk pemenuhan target penurunan emisi gas rumah kaca melalui pasar ataupun nonpasar.