Harapan Baru Pemulihan Ekosistem Gambut dan Mangrove
Pembentukan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove membawa harapan baru sekaligus dorongan baru bagi Indonesia untuk memperbaiki dan melindungi ekosistem rentan ini. Hal itu menjadi kunci penting mitigasi perubahan iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo melantik Kepala Badan Restorasi Gambut yang baru sekaligus menambah tugas lembaga negara tersebut untuk merehabilitasi mangrove di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan yang terdegrasi atau kritis. Ini membawa harapan akan perbaikan dan perlindungan ekosistem penyimpan karbon yang sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim.
Sejumlah kalangan pun berharap lembaga negara ini dapat menyelesaikan target restorasi gambut yang masih tersisa sekaligus menetapkan indikator yang lebih terukur dan jelas.
Presiden melantik Hartono Prawiraatmaja sebagai Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menggantikan Nazir Foead yang menjadi Kepala BRG periode 2016-2020 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/12/2020). Pelantikan tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 78/M/Tahun 2020.
Hartono sebelumnya menjabat Sekretaris BRG dan telah berpengalaman dalam kegiatan rehabilitas hutan dan lahan. Ia juga pernah bertugas di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jabatan terakhir yang ia emban di KLHK ialah Direktur Kawasan Konservasi pada Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
Pakar iklim IPB University, Daniel Murdiyaso, Rabu, menyatakan, kelestarian fungsi gambut dan mangrove memerlukan penanganan yang serius dan terintegrasi. Hal ini karena gambut dan mangrove adalah ekosistem yang memiliki fungsi ekologis, ekonomis, dan sosial yang sangat strategis.
Berdasarkan data Direktorat Konservasi Tanah dan Air, KLHK, hingga Desember 2019, ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 3,31 juta hektar. Dari jumlah tersebut, seluas lebih dari 637.624 hektar atau 19,26 persen mangrove masuk kondisi kritis.
Sementara menurut hasil penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR), saat ini ekosistem mangrove Indonesia mengalami tekanan dengan ancaman degradasi tinggi mencapai 52.000 hektar per tahun. Ancaman tersebut diakibatkan oleh alih fungsi lahan, pencemaran limbah domestik ataupun limbah berbahaya lainnya, penebangan liar, dan meningkatnya laju abrasi.
Gambut dan mangrove yang tersisa perlu dilindungi dengan kebijakan dan peraturan yang jelas.
”Gambut dan mangrove yang tersisa perlu dilindungi dengan kebijakan dan peraturan yang jelas. Sementara yang rusak perlu direstorasi dengan melibatkan banyak pihak, termasuk swasta dan aktor nonpemerintah lainnya,” kata Daniel.
Perbaikan ke depan
Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abbas menilai, langkah pemerintah untuk memperpanjang masa kerja BRG merupakan suatu keputusan yang bijak. Sebab, saat ini Indonesia masih membutuhkan badan khusus yang bertugas mempercepat pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut yang rusak terutama akibat kebakaran dan pengeringan.
Ia juga memandang bahwa periode lima tahun belum cukup untuk merestorasi lahan gambut yang sudah terdegradasi parah saat ini. Menurut dia, hal ini ditunjukkan dari pencapaian BRG pada November 2020 yang masih tersisa sekitar 10 persen dari target restorasi yang belum terselesaikan untuk area di luar konsensi. Pencapaian target restorasi pada area konsesi pada bulan lalu juga masih sekitar 60 persen lagi yang belum terselesaikan.
Ke depan, ia berharap target restorasi gambut yang masih tersisa di periode sebelumnya segera diselesaikan. Selain itu, periode baru BRGM dengan tambahan tugas merehabilitasi mangrove perlu menetapkan target yang lebih terukur beserta indikator yang lebih jelas.
”Tantangan lain yang juga sebaiknya segera diselesaikan adalah integrasi antarintansi terkait. Kendala kewenangan terutama di area restorasi dalam konsesi juga harus segera diselesaikan. Kami berharap BRG menjadi lembaga dengan kewenangan yang lebih kuat untuk merestorasi lahan gambut di Indonesia, khususnya terkait evaluasi perizinan,” tuturnya.
Melanjutkan program
Dihubungi seusai pelantikan, Hartono menyebut bahwa untuk kegiatan restorasi gambut, BRGM akan melanjutkan program sesuai dengan target baru yang ditetapkan presiden. BRGM juga akan mengonsolidasikan hasil restorasi gambut yang telah dilaksanakan sebelumnya, yaitu periode 2016-2020.
Sementara untuk rehabilitasi mangrove, menurut Hartono, tahun pertama BRGM akan mengakselerasi pelaksanaan program yang sebelumnya telah dirancang KLHK serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. ”Pada saat yang sama, kami akan menyusun rencana rehabilitasi detail dan kebutuhan anggarannya sampai dengan 2024,” ujarnya.
Dalam keterangan BRGM, upaya percepatan pemulihan ekosistem dilakukan pada 1,2 juta hektar gambut dan 600.000 hektar mangrove. Selain di tujuh provinsi target restorasi gambut sebelumnya, BRGM juga akan bekerja di enam provinsi baru, khususnya untuk mangrove. Enam provinsi itu ialah Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Papua Barat.
Hartono menyatakan, merehabilitasi mangrove sama dengan menjaga gambut. Sebab, di beberapa lokasi kedua ekosistem ini saling terhubung. Kerusakan dapat terjadi karena pemanfaatan yang tidak sesuai dengan karakteristik gambut dan mangrove. Oleh karena itu, menjaga kedua ekosistem ini juga harus memahami karakteristiknya dengan baik.
Melalui siaran persnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyatakan bahwa perluasan tugas menjadi BRGM menandakan komitmen pemerintah dalam percepatan inplementasi rehabilitasi kawasan mangrove yang kritis. Ia berharap, ke depan, KLHK dan BRGM dapat menguatkan kerja kolaboratif sesuai dengan kebijakan, standar, dan ketentuan perundangan-undangan.