Sejak awal Februari 2020 hingga akhir Februari 2021 tercatat 3.253 bencana di Indonesia. Pencegahan dan mitigasi bencana semestinya jadi titik berat pengurangan risikonya.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun merupakan salah satu negara paling rawan bencana, aspek mitigasi dan pencegahan masih menjadi titik lemah Indonesia. Tiap tahun bencana geologi dan hidrometeorologi rata-rata merenggut lebih dari 1.000 jiwa dan menimbulkan kerugian ekonomi Rp 22,8 triliun.
”Kunci utama dalam penguragan risiko adalah pencegahan dan mitigasi. Jangan terlambat. Jangan hanya reaktif. Kebijakan nasional dan daerah harus sensitif bencana,” kata Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Rabu (3/2/2021).
Menurut Joko Widodo, telah ada Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044. Regulasi ini harus bisa diturunkan dalam kebijakan dan perencanaan, termasuk tata ruang yang memperhatikan aspek risiko bencana.
Berikutnya, menurut dia, harus ada audit serta pengendalian kebijakan dan tata ruang. ”Jangan sampai hanya di atas kertas. Jangan sibuk membuat aturan, yang utama pelaksanaan di lapangan,” kata Presiden.
Setiap terjadi gempa, tidak harus gempa besar, terus terjadi kerusakan dan korban jiwa. Padahal, seharusnya ini bisa dikurangi dengan bangunan tahan gempa.
Dicontohkan standar bangunan tahan gempa yang harus diikuti dengan audit ketahanan bangunan. ”Segera koreksi dan penguatan jika tidak sesuai standar,” katanya.
Kepala BNPB Doni Monardo melaporkan, dari awal Februari 2020 hingga akhir Februari 2021 terjadi 3.253 bencana. ”Tiap hari ada sembilan bencana, baik gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api, kebakaran hutan dan lahan, banjir, longsor, maupun puting beliung,” katanya.
Menurut Doni, mengacu perhitungan Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana ini mencapai Rp 22,8 triliun per tahun. ”Statistik dalam 10 tahun rata-rata ada 1.183 jiwa meninggal karena bencana. Bank Dunia juga menyebutkan, Indonesia salah satu dari 35 negara dengan tingkat risiko ancaman bencana paling tinggi,” katanya.
Ia mengatakan, sejumlah upaya telah dilakukan, termasuk di antaranya perencanaan pembangunan yang berlandaskan pengurangan risiko bencana, pelibatan pakar untuk memprediksi ancaman, memperkuat sistem peringatan dini, menyusun rencana kontijensi, dan edukasi serta pelatihan kebencanaan. ”Namun, bencana tidak bisa dihadapi sendiri,” kata Doni.
Meningkatnya ancaman
Di sisi lain, upaya penanggulangan bencana saat ini dihadapkan pada meningkatnya bahaya dan ancaman dari alam karena terjadi perubahan iklim, terutama terkait dengan hidrometeorologi. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terjadi rekor hujan ekstrem di beberapa daerah dalam lima tahun terakhir.
Rekor hujan tertinggi di Indonesia terjadi di Minangkabau sebesar 384,1 milimeter (mm) pada 17 Juni 2016. Berikutnya, rekor hujan tertinggi ketiga terjadi di Yogyakarta, yaitu 364,1 mm pada 29 November 2017, Paloh di Kalimantan Barat sebesar 327,5 mm pada 7 Desember 2019, dan kemudian di Kalimantan Selatan 270 mm pada 14 Februari 2021.
Peneliti perubahan iklim BMKG, Siswanto, mengatakan, pola hujan telah berubah, yang berpeluang meningkatkan ancaman. Misalnya, jika 100 tahun lalu, hujan di Jakarta itu bisa berlangsung selama berhari-hari, tetapi intensitasnya sedang. Sekarang, kecenderungannya hujan sangat lebat dengan durasi tiga jam atau kurang sehingga berpotensi meningkatkan risiko banjir.
Sebaliknya, pada musim kemarau, tren kekeringan dan kebakaran lahan juga bisa meningkat karena hari tanpa hujan cenderung memanjang, terutama di wilayah Indonesia yang berada di sebelah selatan garis khatulistiwa. Perubahan pola hidrometerologi yang terkait dengan perubahan iklim ini menuntut penguatan mitigasi dan pencegahan.
Sementara itu, menurut Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, saat ini sudah ada kemajuan dalam pemetaan sumber gempa dan sudah ada Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang bangunan tahan gempa. Namun, belum ada kemajuan signifikan dalam hal implementasi bangunan tahan gempa, khususnya untuk bangunan rakyat.
Ini terbukti, dalam sejumlah gempa bumi dengan skala menengah hingga relatif kecil masih terjadi kerusakan bangunan dan korban jiwa, sebagaimana terjadi saat gempa M 6,2 di Majene-Mamuju, Sulawesi Barat, pada pertengahan Januari 2021 lalu dan gempa M 5 di Pulau Bacan pekan lalu. Bahkan, dalam gempa di Sulawesi Barat, sejumlah bangunan publik, seperti Kantor Gubernur Sulawesi Barat dan rumah sakit daerah juga hancur.
”Setiap terjadi gempa, tidak harus gempa besar, terus terjadi kerusakan dan korban jiwa. Padahal, seharusnya ini bisa dikurangi dengan bangunan tahan gempa,” ucapnya.