Kepala BRIN: Integrasi Program Harus Selesai Agustus 2021
Tanggal 10 Agustus 2021 ini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. Bagaimana refleksi riset di Indonesia pascapembentukan BRIN? Berikut wawancara khusus dengan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko.
Tiga bulan setelah dibentuk, Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN sudah hampir menyelesaikan tugas pertamanya, yaitu mengintegrasikan lima lembaga riset. Setelah proses integrasi selesai, BRIN akan mulai merealisasikan program kerja ataupun strategi lainnya untuk meningkatkan ekosistem riset di dalam negeri. Dalam wawancara khusus secara daring bersama Kompas pada Jumat (6/8/2021) malam, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyampaikan perkembangan integrasi ini dan strategi ke depan. Berikut kutipan wawancaranya.
Bagaimana perkembangan reorganisasi atau kelembagaan di internal BRIN saat ini?
Integrasi lembaga-lembaga di bawah naungan BRIN pada Agustus (2021). Kami akan segera melakukan integrasi dalam konteks membentuk struktur baru. Ini dilakukan pada Agustus karena tahun anggaran baru untuk 2022 memang dimulai Januari, tetapi pembahasannya sudah dimulai Mei. Jadi Agustus ini merupakan batas untuk mengintegrasikan program yang juga menyangkut anggaran.
Selain itu, proses reorganisasi tidak langsung dilakukan karena ada penggantian Peraturan Presiden (Perpres) No 33/2021 tentang BRIN dan ini membutuhkan waktu. Jadi kami masih menunggu perpres ini meskipun regulasi tentang struktur BRIN sudah dibuat. Akan tetapi, integrasi memang tidak dapat ditunda lagi karena jangka waktu di perpres itu satu tahun harus sudah selesai. Integrasi mencakup program, kelembagaan, dan sumber daya manusia.
Poin-poin apa saja yang berubah dalam perpres?
Perpres ini harus diubah karena dalam produk lama tidak memuat amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun tentang Ketenaganukliran dan UU No 21/2013 tentang Keantariksaan. Sebab, khusus untuk Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan Batan (Batan Tenaga Nuklir Nasional) ada undang-undangnya.
Jadi dalam UU tersebut tidak hanya mengamanatkan tentang riset, tetapi juga adanya operator negara untuk keantariksaan dan nuklir. Jadi BRIN sebagai lembaga negara harus dibuat menjadi operator keantariksaan dan nuklir menggantikan Lapan dan Batan.
Poin kedua yang diubah adalah terkait dengan proses bisnis dalam BRIN. Dalam Perpres BRIN menyebut BRIN lebih berfungsi sebagai funding agency (lembaga pendanaan). Inilah sebabnya terdapat tujuh deputi dan dibagi berbasis bidang riset. Padahal, dalam perpres tersebut, BRIN tidak hanya sebagai lembaga pemerintah yang mengeluarkan kebijakan, tetapi juga pelaksana riset itu sendiri. Jadi tidak bisa BRIN menjadi funding agency.
BRIN memiliki sekretaris utama yang mengurus infrastruktur perkantoran dan administrasi. Bagian kedua yang tujuh deputi mengurus infrastruktur riset dan pihak eksternal. Sementara bagian tiga adalah organisasi riset itu untuk mengurus substansi riset.
Dengan perubahan ini, jadi siapa yang menjadi ”funding agency”?
Fungsi untuk pendanaan ada pada salah satu deputi dalam BRIN, yaitu deputi fasilitasi riset dan inovasi. Deputi ini punya satu direktorat untuk mengelola imbal hasil dana abadi dan bukan dana dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Konteks dana abadi ini bukan mendapatkan anggaran lalu dibagikan, tetapi memproses dan melakukan penetapan. Setelah proses selesai, peneliti dapat menjalin kontrak dengan LPDP (lembaga pengelola dana pendidikan).
Selain itu, nantinya BRIN tidak akan melakukan dana hibah, tetapi seluruh anggaran dari APBN digunakan untuk infrastruktur riset yang bisa digunakan bersama termasuk perguruan tinggi. Jadi, BRIN melakukan fasilitasi bukan dalam konteks bagi uang.
Baca juga: BRIN Perlu Fokus Sinergikan Seluruh Ekosistem Riset
Dengan struktur organisasi yang besar, apakah BRIN bisa menjawab tantangan riset saat ini khususnya terkait anggaran?
BRIN dibentuk memang untuk menjawab masalah tersebut. Sebab, masalah riset di Indonesia yang paling mendasar ada dua. Pertama, riset kita masih didominasi pemerintah. Padahal, praktik terbaik seharusnya didominasi swasta.
Kedua, riset yang didominasi pemerintah itu tersebar di 48 kementerian/lembaga. Jadi, meski jika dijumlahkan anggarannya besar, setiap kementerian/lembaga akan merasa kurang.
Masalah ini bisa diatasi dengan melakukan konsolidasi sumber daya manusia, infrastruktur riset, dan anggaran. Semua peneliti akan saling bekerja bersama dan semua infrastruktur riset juga bisa digunakan. Misalnya saja untuk kapal riset, jika penggunaan dan pemeliharaannya dilakukan bersama akan sangat menghemat anggaran.
Dana yang terbatas itu juga bisa tergantung dari pengelolaan. Selama ini, sebagian besar anggaran riset itu habis untuk keperluan di luar riset. Periset pun harus mengurus keperluan infrastruktur riset, termasuk alokasi pembelian alat, pemeliharaan alat, dan operasional alat. Itu yang membuat anggaran menjadi besar. Lewat BRIN, anggaran untuk administrasi akan menjadi tanggung jawab manajemen pusat.
Bagaimana strategi BRIN untuk mengembangkan SDM riset ke depan?
Dengan adanya BRIN, kita bisa memiliki kemampuan untuk mengembangkan SDM lebih cepat. Contohnya di lembaga riset murni itu ekosistem lebih saintifik. Sementara di BRIN tidak melihat proses, tetapi hasil akhir. Semua peneliti memiliki kebebasan untuk melakukan berbagai hal.
BRIN juga mewajibkan periset minimal sudah menempuh studi S-3. Tahun ini kami sudah tidak menerima periset S-1 dan S-2.
Di sisi lain, untuk mengembangkan SDM juga tidak hanya dengan merekrut kembali peneliti diaspora, tetapi juga lulusan dalam negeri. Agar mereka tertarik, minimal soal remunerasi sudah setara dengan Malaysia. Sebab, di BRIN sudah disamakan minimal dengan peneliti di lima lembaga riset lainnya. Hal terpenting lainnya adalah soal iklim untuk mendukung riset dan ini sudah ada di BRIN.
Bagaimana peran BRIN untuk bisa lebih menguatkan kerja sama antara periset dan industri dalam proses hilirisasi dan komersialisasi?
Proses komersialisasi dan proses hilirisasi itu bukan sesuatu yang linier. Hilirisasi itu adalah hasil akhir dari suatu kolaborasi di antara orang yang punya problem, yakni industri dan periset. Nah, kolaborasi itu bisa terjadi kalau ada interaksi antarorangnya.
Untuk menguatkan itu, BRIN akan menyatukan semua infrastruktur riset yang dimiliki negara. Semua infrastruktur tersebut kemudian bisa digunakan oleh industri. Dengan begitu, harapannya akan terbangun interaksi antara industri dan periset.
Baca juga: Fungsi BRIN Mulai Berjalan Optimal Januari 2022
Dengan infrastruktur riset yang terpusat, urusan pemeliharaan dan operasional menjadi tanggung jawab manajemen pusat BRIN. Sebelumnya, periset itu juga mengurus keperluan tersebut. Jadi, manajemen riset itu tidak memfasilitasi periset. Itu adalah kesalahan yang paling fatal selama ini.
Dengan model bisnis saat ini, industri bisa menggunakan infrastruktur riset sekaligus sumber daya manusia perisetnya dengan gratis. Dalam arti ada sharing kekayaan intelektual. Ketika ada invensi berupa paten ataupun lisensi itu bisa kita share melalui peneliti. Sementara yang diterima periset, sekitar 60 persen untuk negara dan 40 persen untuk periset itu sendiri.
Ini juga berlaku untuk anggaran riset. Anggaran riset yang diberikan lewat APBN tidak akan banyak sehingga diharapkan bisa memacu periset untuk melakukan kerja sama dengan industri agar mendapatkan dana hibah. Kolaborasi pun menjadi penting.
Hal ini sudah terjadi saat pandemi dari pengembangan ventilator high flow nasal cannula (HFNC) dari LIPI dan PT Gerlink. Persoalan itu datang dari industri kemudian didiskusikan dengan periset. Produk yang dihasilkan pun akhirnya sesuai dengan yang diinginkan kedua pihak. Kini sudah bisa dipasarkan secara luas.
Apakah dengan cara ini bisa memicu pihak swasta atau industri lebih banyak melakukan riset dan pengembangan?
Sebelum itu, kita harus tahu bahwa alasan yang paling banyak membuat industri enggan masuk ke bidang riset dan pengembangan adalah karena riset itu high cost and high risk. Biaya terbesar adalah investasi pada infrastruktur riset dan SDM.
Nah, lewat BRIN, persoalan high cost ini bisa diatasi karena sudah difasilitasi. Ketika akan bekerja sama, industri itu semacam tinggal membawa persoalan saja. Periset pun senang jika diberikan persoalan untuk diteliti.
Nantinya ketika memang sudah mendapatkan manfaat, industri lama-lama akan melakukan investasi sendiri. Itulah yang terjadi di banyak negara saat ini. Hal itu sudah biasa dan perlu kita biasakan di Indonesia.
Baca juga: Kebijakan Riset dan Teknologi: Dari Soekarno hingga Jokowi
Setelah pembentukan BRIN, apakah akan ada prioritas riset tertentu?
Secara umum kita akan lebih fokuskan pada riset yang memberikan nilai tambah yang tinggi, terutama yang berasal dari sumber daya alam lokal dan keanekaragaman yang kita punya. Itu bisa keanekaragaman biodiversitas, geografis, laut, observasi angkasa, juga kesenian dan budaya.
Itu penting untuk mendukung perekonomian yang lebih maju. Kita harus bisa membuat nilai tambah dari yang kita punya yang sudah ada local competitiveness. Tidak perlu berupaya hal besar, tetapi apa yang memang sudah ada di depan mata yang perlu sentuhan riset iptek. Misalnya, pada produk rotan kita yang sulit diekspor karena kualitas yang kurang baik. Dengan riset, persoalan yang ada seperti rotan yang mudah lapuk bisa diatasi.
Riset lainnya juga bisa pada produk kunyit. Selama ini kita hanya mengekspor dalam bentuk kunyit bubuk. Jika kita poles sedikit dengan riset, kunyit itu bisa jadi obat herbal terstandar (OHT) yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Namun, tentu pengembangan lain, seperti pesawat, roket, dan satelit, tetap harus berjalan.
Apa target untuk jangka pendek, menengah, dan panjang? Apakah ada benchmark dengan negara lain?
Untuk jangka panjang kita akan tetap mengacu pada RIRN (Rencana Induk Riset Nasional). Sementara jangka menengah untuk lima tahun akan mengacu pada PRIN (Prioritas Riset dan Inovasi Nasional) pada 2020-2024.
Dalam RIRN kita sudah targetkan setidaknya pada 2045, kondisi riset kita sudah seperti Korea Selatan pada 2015. Itu terlihat dari sejumlah indikator ekonomi makro, seperti jumlah periset yang bisa mencapai 8.000 periset per 1 juta penduduk. Saat ini baru ada sekitar 1.100 periset per 1 juta penduduk.
Selain itu, belanja litbang nasional bisa meningkat dari sekarang sekitar 0,31 persen dari GDP (produk domestik bruto) menjadi 5 persen pada 2045. Seluruh periset yang ada pun harus 100 persen mahasiswa pascasarjana.
Sementara untuk rencana menengah, kita tetap akan fokus pada sembilan bidang prioritas dalam PRIN, yakni pangan dan pertanian, energi baru dan terbarukan, transportasi, kesehatan dan obat-obatan, teknologi pertahanan, teknik rekayasa, kelautan dan perikanan, sosial humaniora, dan ilmu multidisiplin.
Bagaimana terkait pembentukan Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida)?
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mendorong pembentukan Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida). Brida ini akan menjadi salah satu unit di bawah pemerintah daerah, tetapi pembentukan dan proses koordinasi ada di kami (BRIN). Mereka akan menjadi agen dari BRIN yang membawa solusi teknologi ke dearah. Bisa juga Brida ini membawa persoalan-persoalan yang ada di daerah.
Terkait terobosan dan pengintegrasian lembaga dan peneliti, apa strategi BRIN untuk mengatasi kemungkinan adanya resistensi?
Dilakukan saja. Manajemen di BRIN akan mengadopsi berbagai transformasi dan best practises yang telah dilakukan di LIPI sejak awal 2018 (dilakukan Laksana yang saat itu sebagai Kepala LIPI) sehingga secara teknis kami tidak memulai dari awal dan sudah memiliki pengalaman di skala yang lebih kecil.
Intinya manajemen diprioritaskan untuk memfasilitasi dan mendukung periset agar mampu melakukan riset dengan lebih baik sesuai standar global. Singkatnya ini adalah transformasi manajemen berorientasi periset. Karena periset adalah komponen utama di lembaga riset, bahkan lebih dari lembaganya itu sendiri.
Kalaupun biasanya di awal ada potensi resistensi, biasanya hal tersebut akibat kegamangan karena belum memahami proses bisns baru secara keseluruhan. Setelah diimplementasikan, saya yakin periset akan memahami dan mendukung karena memang lebih sesuai dan menguntungkan periset dalam jangka panjang.
(EVY/ICH/ADH)