Mitigasi dan Adaptasi untuk Tahun Lebih Basah
Jumlah air yang berlebih saat musim hujan kali ini perlu dihadapi dengan baik. Selain antisipasi bencana, kondisi ini juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, termasuk strategi musim tanam.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika telah memprediksi musim hujan tahun 2021/2002 lebih maju dan lebih basah dari rata-rata. Informasi ini selain penting untuk mitigasi dan pengurangan risiko bencana, juga bisa berguna untuk adaptasi di berbagai sektor, termasuk di sektor pertanian.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam pertemuan daring Kamis (26/8/2021), menyebutkan, dari total 342 Zona Musim (ZOM) di Indonesia, 14,6 persen diprediksi mengawali musim hujan pada September 2021, meliputi Sumatera bagian tengah dan sebagian Kalimantan.
Sebanyak 39,1 persen wilayah akan memasuki hujan pada Oktober 2021, meliputi Sumatra bagian selatan, sebagian besar Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Bali. Sementara itu, sebanyak 28,7 persen wilayah lainnya pada November 2021, meliputi sebagian Lampung, Jawa, Bali–Nusa Tenggara, dan Sulawesi.
”Jika dibandingkan rerata klimatologis periode 1981-2010, awal musim hujan 2021/2022 di Indonesia diprakirakan maju di 157 ZOM (45,9 persen), sama dengan rata-rata di 132 ZOM (38,6 persen), dan mundur di 53 ZOM (15,5 persen),” kata dia.
Sifat hujan selama musim hujan kali ini yang diprakirakan normal atau sama dengan rerata klimatologisnya terdapat di 244 ZOM (71,4 persen). Sementara sebanyak 88 ZOM (25,7 persen) akan mengalami kondisi musim hujan di atas normal atau lebih basah dari biasanya, dan 10 ZOM (2,9 persen) akan mengalami musim hujan di bawah normal.
Sejumlah wilayah di Indonesia juga diprediksi akan mengalami intensitas hujan lebih tinggi dari biasanya di antaranya Aceh, sebagian Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau bagian selatan, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur bagian barat hingga selatan, Sulawesi, Maluku Utara bagian barat, Pulau Seram bagian selatan, dan Papua bagian selatan.
Baca juga: Waspadai Banjir dan Tanah Longsor, Musim Hujan Bakal Lebih Awal dan Lebih Basah
Dalam pertemuan itu, Dwikorita mengingatkan, lebih awal dan lebih basahnya musim hujan kali ini berisiko meningkatkan risiko bencana banjir, banjir bandang, dan longsor. Beragam bencana terkait cuaca ekstrem juga bisa datang lebih cepat. ”Terutama di musim peralihan bulan September berisiko terjadi angin kencang dan puting beliung,” kata dia.
Mitigasi bencana
Analis kebijakan dari Direktorat Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Firza Ghozalba, dalam diskusi di BMKG pada Jumat (27/8/2021), menunjukkan, hampir 80 persen bencana di Indonesia terkait hidrometerologi, sedangkan 20 persen bencana geologi. Data juga menunjukkan, tren jumlah korban dan kerugian akibat bencana banjir dan longsor cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Misalnya, pada tahun 2011 terjadi 151 banjir dengan jumlah korban 151 orang dan hilang 35 orang. Tahun 2016, 824 banjir, 193 orang tewas, dan 60 orang hilang. Tahun 2020 terjadi 1.518 banjir dengan korban jiwa 235 orang dan hilang 27 orang.
Bencana longsor pada tahun 2011 melanda 329 kali dengan korban jiwa 169 orang dan hilang 2 orang. Pada 2016 terjadi 599 longsor dengan korban jiwa 152 orang dan hilang 34 orang. Adapun pada 2020 terjadi 1.054 longsor dengan korban jiwa 117 orang dan hilang 8 orang.
Peta Risiko Bencana BNPB menunjukkan, lebih dari 100 juta jiwa penduduk Indonesia di 34 provinsi berisiko terdampak banjir skala sedang hingga tinggi. Adapun area yang berpotensi terdampak mencapai 19 juta hektar. Longsor dengan skala sedang hingga tinggi mengancam lebih dari 14 juta jiwa di 33 provinsi dengan luas area yang berisiko mencapai 57 juta hektar.
Dengan besarnya risiko ini, jumlah sistem peringatan dini banjir dan longsor di Indonesia masih sangat terbatas. Hingga tahun 2020, BNPB baru membangun alat peringatan dini banjir di 27 lokasi di Indonesia. Sementara sistem peringatan dini longsor baru ada di 112 lokasi.
Sistem peringatan dini ini tentu tidak memadai jika dibandingkan sebaran lokasi banjir dan longsor yang sangat luas. Dia berharap pada kesipsiagaan masyarakat memitigasi risiko dan evakuasi mandiri sesuai karakteristik ancaman di daerah.
Baca juga: Banjir Membawa Pasir dan Kayu Gelondongan Merusak 80 Rumah di Sigi
Sementara itu, Pelaksana Tugas Deputi Klimatologi BMKG Urip Karyoko mengatakan, sekalipun rata-rata curah hujan di Indonesia di atas normal, ada juga sebagian daerah yang akan mengalami kurang hujan. ”Tetap waspada kebakaran hutan dan lahan, seperti di pesisir timur Aceh, Sumatera Utara, dan Riau. Pada Februari 2022, hujan di kawasan tersebut diperkirakan sangat rendah,” kata dia.
Strategi adaptasi
Selain membawa risiko bencana, musim hujan lebih awal dan lebih basah sebenarnya juga berpotensi menguntungkan. Misalnya, bisa dimanfaatkan untuk menambah aktivitas tanam dan memanen air hujan untuk mengisi danau atau waduk untuk mengantisipasi periode musim kemarau.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan mengatakan, selama ini informasi prakiraan musim dari BMKG lebih banyak dimanfaatkan oleh kementerian/lembaga, misalnya terkait pertanian oleh Kementerian Pertanian (Kementan). ”Info tentang awal musim hujan bisa dipakai untuk penentuan awal musim tanam,” kata dia.
Penting meramalkan dan memberikan informasi ke para pihak, terutama petani, pola ekstrem akan terjadi di wilayah sentra produksi yang mana dan kapan secara rinci.
Contoh lain, informasi tentang monitoring hari tanpa hujan (HTH) juga bisa dipakai untuk peringatan dini kekeringan dan kebakaran hutan. ”Pengelola bendungan juga bisa menggunakan info prakiraan untuk modus operasi sesuai dengan kondisi musim yang diprediksi BMKG. Kalau tahun El Nino atau kering, misalnya akan menghemat pengeluaran air. Begitu sebaliknya, kalau tahun La Nina, bisa antisipasi kelebihan air, di antaranya untuk mengoptimalkan luas tanam,” kata dia.
Menurut Dodo, musim hujan 2021/2022 dapat dioptimalkan petani dengan memulai musim tanam lebih awal sesusai ZOM-nya. Biasanya Kementan menetapkan musim tanam pertama (MT I) di Jawa pada Oktober-Maret karena rentang musim hujan memang di periode itu. Tapi, kali ini perlu disesuaikan karena bisa lebih awal. ”Ini bisa dilihat nanti dengan perkiraan dasarian yang lebih rinci,” kata dia.
Adapun untuk prakiraan daerah dengan sifat hujan di atas normal, artinya setelah Oktober-Maret, petani bisa memilih komoditas yang cocok untuk MT II, bisa dengan padi lagi atau palawija tergantung kondisi sistem irigasi mereka. Selain itu, perlu juga diantisipasi potensi genangan air karena tingginya intensitas hujan.
Direktur Perlindungan Hortikultura Kementerian Pertanian Inti Pertiwi Naswari mengatakan, faktor cuaca memang sangat memengaruhi produksi tanaman hingga harga jual komoditas di pasar. ”Penting meramalkan dan memberikan informasi ke para pihak, terutama petani, pola ekstrem akan terjadi di wilayah sentra produksi yang mana dan kapan secara rinci,” kata dia.
Dia mengharapkan, ke depan ada kolaborasi dan kerja sama dengan BMKG untuk menyusun sistem peringatan dini perlindungan hortikultura dan penyusunan kalender tanam tanam komoditas strategis hortikultura berdasarkan keragaman pola cuaca di daerah. ”Saat ini bersama Balitklimat (Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi) sedang mengembangkan sistem peringatan dini cuaca untuk pertanian. Dengan memanfaatkan data curah hujan BMKG, bisa dibuat kalender tanam yang sesuai dengan pola cuaca,” kata dia.
Dodo mengakui, selama ini informasi cuaca dan iklim dari BMKG lebih banyak dimanfaatkan oleh intansi pemerintah, dan masih minim digunakan langsung oleh petani. Untuk menjembatani itu, BMKG sebenarnya telah memiliki sekolah lapang iklim untuk mengajari petani memanfaatkan perkiraan musim, tetapi jumlahnya masih terbatas.
Baca juga: Presiden Minta Data BMKG Jadi Rujukan Kebijakan
Seperti diingatkan Andi Eka Sakya, mantan Kepala BMKG yang kini menjadi peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), selain akurasi perkiraan, yang dibutuhkan ialah menjadikan informasi iklim lebih mudah diakses dan dipahami publik. ”Di antaranya dengan membuka akses, apakah itu data atau informasi iklim kepada para pihak yang bisa membantu memperpanjang jangkauan tangan BMKG hingga bisa ke pengguna (end user),” kata dia.