Cakupan pelayanan KB di rumah sakit cenderung mengalami penurunan. BKKBN pun telah menyiapkan strategi dengan menunjuk rumah sakit unggulan pelayanan KB di rumah sakit.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelayanan keluarga berencana di rumah sakit belum optimal. Padahal, layanan tersebut penting untuk menekan angka kematian ibu dan bayi serta mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Karena itu, revitalisasi pada layanan keluarga berencana di rumah sakit diperlukan.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo di Jakarta, Rabu (1/9/2021), mengatakan, cakupan pelayanan keluarga berencana (KB) di rumah sakit semakin menurun, terutama sejak program Jaminan Kesehatan Nasional dimulai pada 2014. Pelayanan yang diberikan di rumah sakit harus berdasarkan indikasi medis melalui rujukan berjenjang.
”Kondisi pandemi ini semakin menghambat upaya peningkatan pelayanan KB di rumah sakit. RS kini lebih fokus untuk melakukan penanganan Covid-19. Kunjungan masyarakat ke rumah sakit juga menurun,” tuturnya.
Hasto mengatakan, pada 2020, pelayanan KB di rumah sakit sekitar 1 juta layanan dari total layanan KB seluruhnya yang mencapai 38,4 juta. Kerja sama dan dukungan semua pihak dibutuhkan agar pelayanan KB di rumah sakit bisa lebih optimal.
Baca Juga: Puluhan Juta Pasangan Usia Subur Berpotensi Ikut Program Keluarga Berencana
Pelayanan KB di rumah sakit (PKBRS) memiliki andil untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Melalui pelayanan ini, kehamilan yang tidak direncanakan bisa dicegah sehingga risiko tengkes sekaligus bisa dihindari.
Selain itu, rumah sakit juga menjadi rujukan bagi ibu hamil yang memiliki risiko pada kehamilan berikutnya. Penggunaan kontrasepsi melalui KB pascapersalinan pun bisa dilakukan langsung di rumah sakit.
”BKKBN telah menyusun strategi untuk melakukan revitalisasi PKBRS. Tahun ini, setiap perwakilan BKKBN di provinsi diminta untuk membentuk satu rumah sakit unggulan pelayanan KB,” kata Hasto.
Rumah sakit unggulan PKBRS tersebut akan menjadi pusat pemasangan alat kontrasepsi jenis IUD (intrauterine device), susuk/implan, pelayanan MOP (metode operasi wanita) dan MOW (metode operasi pria), serta menjadi rumah sakit percontohan pelayanan KB. Rumah sakit ini juga diharapkan dapat bekerja sama dengan sentra-sentra pendidikan sebagai tempat pelatihan bagi tenaga kesehatan yang akan melayani KB.
Kondisi pandemi ini semakin menghambat upaya peningkatan pelayanan KB di rumah sakit. RS kini lebih fokus untuk melakukan penanganan Covid-19. Kunjungan masyarakat ke rumah sakit juga menurun.
Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Erna Mulati menyampaikan, keberhasilan dalam pelayanan KB amat menentukan penyelesaian masalah kesehatan ibu dan anak. Tingginya angka kematian ibu dan anak serta tingginya angka tengkes dapat mengancam kualitas generasi bangsa di masa depan.
Berdasarkan data survei penduduk antar sensus (SUPAS) 2015, angka kematian ibu di Indonesia mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara angka kematian bayi tercatat sebanyak 24 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Ditargetkan pada 2024, angka kematian ibu bisa menurun menjadi 183 kasus per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi menurun menjadi 16 kasus per 1.000 kelahiran hidup.
”Penguatan KB diperlukan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Kematian ibu masih tinggi karena adanya 4T, yakni terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat, dan terlalu banyak dalam melahirkan anak,” tuturnya.
KB pascapersalinan
Erna mengungkapkan, cakupan persalinan di fasilitas kesehatan sudah cukup baik yaitu mencapai 89 persen pada 2019. Namun, pemanfaatan KB pasca-persalinan yang dilakukan di rumah sakit masih kurang. Dari data Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebutkan, penggunaan KB pascapersalinan masih mencapai 23 per 1000 kelahiran hidup.
Menurut dia, tantangan yang dihadapi dalam peningkatan kualitas layanan KB di rumah sakit, antara lain adanya biaya paket pelayanan KB pascapersalinan, biaya pelayanan implan dan MOP yang tidak bisa dibayarkan melalui dana BPJS, serta adanya sistem rujukan pelayanan KB.
”Karena itu perlu dilakukan pendekatan dengan BPJS terkait sistem pembayaran KB di rumah sakit. Biaya KB di rumah sakit seharusnya bisa menggunakan mekanisme pembiayaan khusus dari BKKBN. Pemahaman terkait pentingnya KBPP juga harus terus ditingkatkan,” katanya.
Perwakilan Badan PBB untuk Pendanaan Kependudukan (UNFPA) Indonesia Anjali Sen menuturkan, ketersediaan dan aksesibilitas kontrasepsi di RS merupakan hal yang esensial, terutama untuk perempuan yang memiliki komplikasi dan membutuhkan penundaan kehamilan. Rumah Sakit berperan penting dalam penyediaan pelayanan KB, khususnya untuk vasektomi, tubektomi, AKBK (Alat Kontrasepsi Bawah Kulit), dan AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim).
”Rumah sakit diharapkan dapat melayani berbagai metode kontrasepsi modern, baik metode kontrasepsi jangka panjang maupun jangka pendek, konseling, tatalaksana terhadap efek samping dan komplikasi pada kehamilan, dan berbagai permasalahan kesehatan reproduksi lainnya,” tuturnya.