Mencegah dan Menangani Dini Gigitan Ular Berbisa
Kasus gigitan ular dan kematian akibat gigitan ular di Indonesia cenderung meningkat. Pemberian bantuan hidup dasar dan penanganan awal gigitan dapat membantu menyelamatkan korban.
Mahasiswa pascasarjana IPB University ditemukan meninggal dunia di Kebun Cibayan Atas, Bogor, Jawa Barat, Rabu (17/11/2021) siang, dengan luka di kaki yang diduga karena gigitan ular berbisa. Kasus ini menambah panjang daftar kematian karena gigitan ular di Indonesia yang sebenarnya bisa dikurangi risikonya.
Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan IPB University Drajat Martianto yang dihubungi Kamis (18/11/2021) mengatakan, almarhum merupakan mahasiswa semester satu Program Pascasarjana di Program Studi Agronomi dan Hortikultura dan sebelumnya lulusan sarjana dari program yang sama.
”Dia juga tinggal di dalam kampus (perumahan dosen). Tampaknya keluar pagi hari (Rabu) dengan pakaian olahraga dan membawa tumbler minum. Kemungkinan jalan pagi sekaligus menengok kebun,” kata Drajat.
Siang harinya, sekitar pukul 14.00, pengelola Kebun Cikabayan Atas, Ngabdul, menemukan sosok korban yang diduga sudah meninggal dunia. Ditemukan luka di kakinya. Pihak IPB University segera membawa korban ke Rumah Sakit Ciawi untuk diotopsi.
”Kami belum menerima hasil otopsi, tapi sangat kuat dugaan disebabkan gigitan ular kobra kalau melihat luka di kakinya. Saya juga mendapat info bahwa di sekitar lokasi ditemukan lima anak ular kobra,” kata Drajat.
Hindari tergigit
Ahli herpetologi dari Pusat Riset Biologi BRIN, Amir Hamidy, belum bisa berspekulasi soal kematian korban karena gigitan ular. ”Kalau karena gigitan ular hasil otopsinya akan kelihatan kerusakan organnya,” katanya.
Namun, menurut Amir, risiko gigitan ular bisa saja terjadi karena saat musim hujan seperti sekarang adalah periode penetasan ular. Apalagi korban beraktivitas di perkebunan yang menjadi habitat ular berbisa. ”Ini musim telur ular menetas, tidak hanya kobra. Siklus tahun lalu juga begitu, di musim hujan banyak muncul anakan kobra,” katanya.
Telur ular tidak dijagain induknya dan begitu menetas akan menyebar secara acak. Khusus untuk ular kobra merupakan jenis yang bisa hidup di habitat terbuka di sekitar manusia. Oleh karena itu sering ditemukan di sekitar permukiman.
Kami belum menerima hasil otopsi, tapi sangat kuat dugaan disebabkan gigitan ular kobra kalau melihat luka di kakinya. Saya juga mendapat info bahwa di sekitar lokasi ditemukan lima anak ular kobra.
”Untuk hindari itu, tingkatkan kewaspadaan di musim hujan begini. Kalau rumahnya di dekat habitat ular, usahakan rumah bersih dan dipel tiap hari dengan wangi-wangian menyengat. Jangan ada tumpukan barang bekas dan kalau ada pohon, bersihkan ranting. Selain itu jangan tidur di lantai,” paparnya.
Amir mengingatkan, begitu menetas, ular sudah memiliki bisa atau racun. Walaupun kuantitasnya tidak sebanyak saat dewasa, racun bayi ular sama atau bahkan lebih tinggi tingkat letalnya. ”Bisa ini untuk pertahanan, jadi begitu menetas, dia sudah memiliki agar bertahan hidup,” katanya.
Bagi yang beraktivitas di luar ruangan yang berisiko, Amir menyarankan untuk mengenakan alat perlindungan diri yang memadai. ”Misalnya kalau beraktivitas di kebun, harus dengan prosedur aman. Minimal memakai sepatu but, kaus panjang, dan jangan beraktivitas di malam hari, kecuali profesional,” katanya.
Dokter ahli penanganan ular berbisa yang juga Presiden Toksinologi Indonesia Tri Maharani mengatakan, ada kecenderungan kasus dan kematian akibat gigitan ular di Indonesia meningkat. Dari Januari 2020 sampai awal Januari 2021, terdapat 627 kasus gigitan ular di Indonesia yang dilaporkan, 62 orang di antaranya meninggal dunia.
Baca juga : Berjuang Melawan Bisa Ular Mematikan
Ini berarti, tingkat kematian akibat gigitan ular di Indonesia selama kurun 2020 hingga awal 2021 mencapai 10 persen. Padahal, menurut Tri, tingkat kematian karena gigitan ular berbisa secara global rata-rata 2 persen.
Pada tahun 2019, kasus gigitan ular berbisa di Indonesia sebanyak 587 dan yang meninggal 52 orang. Sementara pada 2018 jumlah kasus gigitan ular dilaporkan 782 dan yang meninggal 49 orang. Pada tahun 2017, kasus gigitan ular sebanyak 689 dan yang meninggal 42 orang.
Pertolongan dini
Mencegah gigitan merupakan perlindungan terbaik terhadap ular berbisa karena upaya menangani racun ular tidak gampang, apalagi tidak semua ular berbisa di Indonesia tersedia serum antivenomnya. ”Sampai saat ini, Indonesia hanya memiliki tiga serum antibisa (antivenom), yaitu untuk gigitan kobra (Naja sputatrix), ular belang (Bungarus sp), serta ular tanah (Agkistrodon rhodostoma),” kata Tri Maharani.
Tiga serum ini biasanya dipakai polivalen untuk lima jenis gigitan ular karena kobra ada dua jenis, yaitu kobra jawa dan kobra sumatera. Demikian juga Bungarus ada welang dan weling. ”Sampai saat ini, kita juga belum memproduksi sendiri serum antibisa ular king kobra (Ophiophagus hannah). Untuk menangani gigitan king kobra, saya pernah cari serumnya sampai ke Thailand,” katanya.
Padahal, di Indonesia terdapat 77 spesies ular berbisa, termasuk beragam spesies ular laut. Jumlah ini sangat besar dibandingkan negara lain, seperti India memiliki 45 spesies, Malaysia 30-40 spesies, Thailand 40 spesies, dan Taiwan 6 spesies.
Selain keterbatasan serum antibisa, menurut Tri, penanganan dini gigitan ular belum banyak dipahami masyarakat di Indonesia, bahkan juga di kalangan medis. Tidak semua tenaga dan fasilitas kesehatan mau dan bisa menerima pasien gigitan ular. ”Ini misalnya dalam kasus gigitan ular welang yang dialami sekuriti perumahan di Tangerang Selatan pada 2019. Korban akhirnya meninggal setelah ditolak di sejumlah fasilitas kesehatan yang tidak tahu bagaimana menanganinya,” katanya.
Menurut Tri, penanganan dini yang perlu diketahui masyarakat menolong korban gigitan ular adalah memberi bantuan hidup dasar dan penanganan awal gigitan. ”Begitu kena gigit ular jangan banyak bergerak atau dipijat karena pergerakan akan menyebabkan racunnya semakin cepat menyebar,” katanya.
Jika korban ditemukan dalam keadaan pingsan, harus dilakukan pijat jantung agar kembali bisa bernapas. Berikutnya, harus segera dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapat perawatan.
Obat-obatan herbal juga tidak akan bisa menawarkan bisa. Racun ular hanya bisa disembuhkan dengan serum antivenom yang jenisnya beragam.
Menurut Tri, tingkat fatalitas akibat bisa ular bergantung pada jenis ular dan volume bisa yang disemprotkan. ”Beberapa ular punya jenis racun beragam, misalnya kobra mengandung nekrotoksin dan vitotoksin. Tentu berbeda dengan bisa ular hematoksin saja,” ucap Tri.
Setidaknya ada ada tujuh jenis bisa ular yang ditemukan di Indonesia. Dua jenis paling umum adalah neurotoksin yang menyerang saraf otak dan korbannya bisa meninggal dalam hitungan jam. Ular yang memiliki neurotoksin kuat adalah king kobra (Ophiophagus hannah) dan weling (Bungarus candidus), serta beragam jenis ular laut. ”Hampir semua jenis ular berbisa yang ditemukan di Papua juga memiliki bisa jenis neurotoksin ini,” katanya.
Selain itu, ada jenis bisa hemotoksin dari ular tanah atau juga kerap disebut bandotan (Calloselasma rhodostoma), ular hijau ekor merah (Trimeresurus albolabris), dan ular picung (Rhabdophis subminiatus). King kobra dan ular laut juga mengeluarkan kardiotoksin, yang secara spesifik menyerang jantung.
Selain itu, ada racun nefrotoksin yang dihasilkan dari ular bandotan puspo (Viper ruselli) yang secara efektif menyerang ginjal dan sitotoksin dari ular kobra dan ular tanah yang bisa menyerang sitoplasma sel. Terakhir, miotoksin yang menyerang sel otot dihasilkan oleh ular laut.
Menurut Tri, terhadap semua gigitan bisa ular beracun, pertolongan pertama yang diberikan akan menentukan keselamatan hidup. Langkah mengisap bekas gigitan dan mengikat anggota tubuh, menyobek hingga keluar darah tak akan membantu. Tindakan paling tepat adalah membuat bagian tubuh yang digigit ular tak bergerak layaknya orang patah tulang, sambil menunggu penanganan lebih lanjut.