Cegah Kepunahan Burung Paruh Bengkok dengan Tidak Memeliharanya secara Ilegal
Tingginya minat masyarakat memelihara burung paruh bengkok membuatnya terus diburu. Masyarakat diminta tidak memeliharanya secara ilegal agar populasinya di alam liar tidak terus menyusut.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Maraknya perdagangan burung paruh bengkok mengancam populasinya di alam liar. Untuk mencegah kepunahannya, masyarakat diminta tidak memelihara burung yang dikelompokkan dalam ordo Psittaciformes itu secara ilegal.
Tingginya minat memelihara burung paruh bengkok membuatnya terus diburu. Satwa endemik Indonesia ini tidak hanya diperdagangkan antardaerah, tetapi juga hingga ke luar negeri.
”Cegah kepunahannya dengan tidak membeli burung yang ditangkap oleh pemburu. Burung paruh bengkok ini lambang kekayaan Indonesia dan aset diversitas satwa,” ujar Nadhifa Trihapsoro, dokter hewan di Suaka Paruh Bengkok, Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Maluku Utara, dalam diskusi daring ”Kepak Sayap Kebebasan: Perjalanan Rehabilitasi Burung Paruh Bengkok dari Penyitaan hingga Pelepasliaran”, Minggu (20/2/2022) malam.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, sebanyak 87 jenis burung paruh bengkok dilindungi.
Dalam keluarga Cacatuidae terdapat tujuh kakatua yang dilindungi, yaitu kakatua putih (Cacatua alba), kakatua koki (Cacatua galerita), kakatua tanimbar (Cacatua goffiniana), kakatua maluku (Cacatua moluccensis), kakatua rawa (Cacatua sanguiena), kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), dan kakatua raja (Probosciger aterrimus). Dalam keluarga Psittacidae terdapat 80 jenis yang dilindungi. Di kalangan pencinta burung, nama burung paruh bengkok ini populer dengan sebutan nuri, perkici, kringking, serindit, kasturi, dan betet (Kompas.id, 31/5/2021).
Kesadaran masyarakat untuk tidak memelihara burung paruh bengkok secara ilegal diharapkan dapat mengurangi perburuannya di alam. Sementara burung yang disita dari transaksi perdagangan dan penyerahan masyarakat akan direhabilitasi.
Akan tetapi, tidak semua burung yang direhabilitasi dapat dilepasliarkan ke alam. Nadhifa mengatakan, sejumlah burung yang diterima Suaka Paruh Bengkok dalam kondisi cacat dan terlalu jinak sehingga sulit bertahan di alam liar.
”Burung-burung itu dimasukkan ke kandang edukasi untuk memberitahukan masyarakat dampak dari perdagangan liar tidak baik untuk burung,” ujarnya.
Tidak jarang burung yang diterima mengalami cedera pada pergelangan kakinya. Penyebabnya karena sudah terlalu lama dililit kawat saat dipelihara oleh majikannya.
Selain itu, banyak juga burung yang sayap primernya dipotong oleh pemburu agar tidak bisa terbang jauh. Sebagian lainnya datang dalam kondisi dehidrasi dan sakit akibat parasit.
Burung akan menjalani karantina selama 14 hari untuk diobservasi fisik dan perilakunya. Burung yang sakit dipisahkan ke kandang ICU (intensive care unit) untuk perawatan.
”Menjelang akhir masa karantina, burung diberikan obat cacing, obat kutu, pencabutan bulu terpotong, dan identifikasi berupa mikrocip. Hasil observasi menentukan burung akan dipindah ke kandang mana,” ujarnya.
Burung yang cacat dan tidak bisa terbang masuk ke kandang edukasi, sedangkan burung jinak dan bisa terbang dimasukkan ke kandang ekosistem. Lalu, burung yang mempunyai sifat liar dan bisa terbang ditempatkan di kandang kubah dan disiapkan untuk dilepasliarkan.
Nadhifa menjelaskan, rehabilitasi burung paruh bengkok dibagi dalam empat tahap, yaitu serah terima, karantina, rehabilitasi, dan pelepasliaran. ”Prosesnya tidak singkat. Ada yang beberapa bulan, tetapi ada juga lebih dari setahun,” katanya.
Salah satu tantangan dalam rehabilitasi adalah akses laboratorium diagnostik yang jauh dan memakan biaya cukup tinggi. Selain itu, mengembalikan perilaku asli burung karena sudah terlalu jinak akibat dipelihara dalam waktu lama.
Oleh sebab itu, perburuan burung harus dihentikan untuk menghindari kepunahan. ”Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada melihat burung terbang dan hidup sejahtera di alam,” ucapnya.
Koordinator Suaka Paruh Bengkok Ari Wahyu Utomo mengatakan, kawasan Indonesia timur kaya akan keanekaragaman burung paruh bengkok. Sebanyak 52 jenis dari total 90-an jenis burung parung bengkok bisa ditemui di kawasan itu.
”Akan tetapi, di sisi lain, terdapat masalah klasik perdagangan ilegal yang tak hanya ke luar daerah, tetapi juga luar negeri,” ujarnya.
Ari berharap dokter hewan juga berperan mengedukasi masyarakat untuk tidak memelihara burung paruh bengkok secara ilegal. Hal ini sebagai langkah pencegahan agar populasinya tidak terus berkurang.
”Kita tidak bisa menutup mata, peredaran burung paruh bengkok sangat tinggi. Di Pasar (Burung) Pramuka (DKI Jakarta) juga bisa dilihat diperdagangkan secara ilegal,” katanya.
Dalam catatan Kompas, perdagangan ilegal burung paruh bengkok ini marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pada akhir Januari 2021, Karantina Pertanian Makassar Wilayah Kerja Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta menggagalkan pengiriman 268 nuri (Eos bornea) asal Namlea, Maluku. Penyelundupan ratusan nuri merah dan pelangi ini dilakukan menggunakan Kapal Motor (KM) Dorolonda yang bersandar di Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan.
Sementara pada Agustus 2018, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur bekerja sama dengan BBKSDA DKI Jakarta menggagalkan upaya pengiriman ratusan ekor burung paruh bengkok tanpa dokumen lengkap. Burung-burung itu akan dikirim dari Bandara Abdulrachman Saleh, Malang, ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta.