Pengembangan dan Komersialisasi Tanaman Bioteknologi Butuh Dukungan Regulasi
Tanaman bioteknologi atau hasil rekayasa genetik yang tahan terhadap berbagai faktor perusak sudah banyak dikembangkan. Namun, hal ini masih butuh dukungan regulasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para peneliti dan akademisi saat ini sudah banyak mengembangkan tanaman bioteknologi atau hasil rekayasa genetik yang tahan terhadap berbagai faktor perusak. Proses budidaya tanaman juga menguntungkan petani. Namun, pengembangan dan komersialisasi tanaman hasil rekayasa genetik ini masih terkendala regulasi.
Dewan Pakar Masyarakat Bioteknologi Pertanian Indonesia (Masbiopi) Muhammad Herman mengemukakan, bioteknologi modern atau penggunaan teknik rekayasa genetik dapat menghasilkan tanaman rekayasa genetik yang dikenal juga dengan istilah tanaman biotek. Selama ini, pengembangan tanaman biotek juga sudah dilakukan oleh lembaga penelitian pertanian hingga sejumlah perguruan tinggi.
”IPB Universitry berhasil merakit kentang biotek tahan penyakit layu bakteri dan Universitas Jember juga telah menghasilkan berbagai produk. Penelitian mereka telah memperoleh izin dari Komisi Keamanan Hayati untuk melakukan penelitian di lapangan uji terbatas,” ujarnya dalam virtual media tour yang diselenggarakan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Selasa (8/3/2022).
Sampai saat ini peneliti dan akademisi belum fokus mengembangkan tanaman biotek yang tahan terhadap perubahan iklim.
Menurut Herman, teknik rekayasa genetik membuka peluang perakitan biofortifikasi tanaman untuk perbaikan nutrisi dan perubahan warna bunga. Beberapa produk yang telah mendapat perbaikan nutrisi ini adalah padi emas yang mengandung beta-karotena, padi tinggi kandungan zat besi, kedelai tinggi omega 3, dan tomat ungu kaya oksidan.
Meski demikian, Herman mengakui pengembangan tanaman biotek masih terkendala belum adanya regulasi yang mengatur overekspresi ganda(stacked genes) atau perbaikan susunan gen (genome editing). Tidak adanya regulasi ini dinilai akan mempersulit para perakit.
Selain itu, kata Herman, diperlukan juga inisiasi untuk merevisi pedoman pengkajian keamanan lingkungan, pangan, dan pakan sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik.
”Perlu sosialisasi untuk mengatasi kurangnya pemahaman publik tentang tanaman biotek serta manfaat dan risikonya. Hal yang sangat penting adalah political will dari lembaga terkait untuk dapat mengimplementasikan regulasi keamanan hayati yang sudah diberlakukan sejak 1998 dengan penuh komitmen,” ungkapnya.
Herman berharap pemerintah dapat memberikan dukungan regulasi terhadap pengembangan dan komersialisasi ini karena tanaman biotek dapat meningkatkan perekonomian. Studi tahun 2014 oleh Pusat Kajian Resolusi Konflik (CARE) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB University, surplus ekonomi baik produsen maupun konsumen yang diperoleh dari budidaya kentang biotek meningkat Rp 552,6 miliar per tahun.
Ketua Departemen Kemitraan Strategis dan Advokasi Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sidi Asmono mengatakan, selama ini KTNA sudah melakukan sejumlah upaya advokasi agar produk rekayasa genetik mendapat dukungan dari pemerintah. Advokasi dilakukan dengan mengadakan pertemuan teknis bersama kementerian/lembaga terkait, seperti Kementerian Pertanian hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Kami juga memberikan informasi untuk menjelaskan tentang keamanan pangan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sebab, produk rekayasa genetik ini harus ada sertifikat aman lingkungan, aman pangan, dan aman pakan,” tuturnya.
Berkat advokasi selama belasan tahun ini, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kini menerbitkan peta jalan untuk benih rekayasa genetik yang disepakati bersama antar-kementerian. Produk rekayasa genetik juga masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Fokus pengembangan
Herman menilai, sampai saat ini peneliti dan akademisi belum fokus mengembangkan tanaman biotek yang tahan terhadap perubahan iklim. Selama ini, pengembangan baru fokus untuk menghasilkan tanaman yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta cekaman abiotik seperti toleran kekeringan maupun penurunan suhu secara drastis.
”Pada musim-musim tertentu, tanaman kentang seperti di daerah Dieng (Jawa Tengah) membeku karena suhu turun secara drastis jadi dibutuhkan tanaman yang tahan terhadap kondisi ini. Jadi, sementara ini memang karena keterbatasan dana dari lembaga penelitian, mereka akhirnya baru memfokuskan terhadap cekaman ini,” kata Herman yang juga peneliti utama bidang bioteknologi pertanian pada Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
Herman menegaskan, Indonesia akan semakin tertinggal dari negara lain apabila tidak memanfaatkan dan mengoptimalkan bioteknologi di bidang pertanian. Sejumlah negara yang sudah mengoptimalkan tanaman rekayasa genetik ini adalah Filipina, Myanmar, dan Bangladesh. Negara-negara tersebut menggunakan bioteknologi untuk mengembangkan jagung, terung, kentang, dan tanaman lainnya.
”Perlu dukungan dari pemerintah untuk membuka peluang pemanfaatan bioteknologi agar bisa disebarluaskan di Indonesia. Semoga tanaman jagung hasil rekayasa genetik yang sudah diberikan izin atau direkomendasikan oleh tim penilai bisa ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya surat keputusan oleh menteri pertanian,” ucapnya.