Penanganan Covid-19 Perlu Jadi Pembelajaran untuk Mengurangi Risiko Bencana
Koalisi masyarakat sipil untuk Forum Global Pengurangan Risiko Bencana Ke-7 mendorong agar pandemi Covid-19 menjadi pembelajaran untuk segera membenahi sistem penanganan bencana, khususnya bagi negara rawan bencana.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah menunjukkan bahwa semua negara tidak hanya rentan terhadap bencana alam, tetapi juga kesehatan. Oleh karena itu, semua negara perlu menjadikan Covid-19 sebagai pembelajaran untuk segera membenahi sistem penanganan bencana, khususnya bagi negara rawan bencana, termasuk Indonesia.
Hal tersebut disampaikan perwakilan koalisi masyarakat sipil untuk Forum Global Pengurangan Risiko Bencana (GPDRR) Ke-7 saat konferensi pers di Bali, Jumat (27/5/2022), dan disiarkan secara daring. Koalisi yang beranggotakan lebih dari 200 organisasi dan jejaring kemanusiaan di Indonesia ini dibentuk dengan tujuan menggemakan dan memperluas pelibatan masyarakat dalam GPDRR Ke-7.
Direktur Pengembangan Masyarakat dan Kemanusiaan Yakkum Emergency Unit (YEU) Arshinta menyampaikan, pandemi Covid-19 di Indonesia telah menunjukkan penurunan sangat signifikan. Hal ini tidak terlepas dari berbagai upaya penanganan, salah satunya vaksinasi bagi kelompok berisiko dan masyarakat umum lainnya.
”Kami memandang pentingnya memastikan berbagai pembelajaran penanganan Covid-19 yang telah dibahas dalam konferensi global pengurangan risiko bencana saat ini digunakan untuk segera membenahi sistem penanganan bencana,” ujarnya.
Koalisi mencatat sejumlah hal yang masih perlu dibenahi dalam upaya pengurangan risiko bencana di Indonesia. Pertama, semua pihak perlu meningkatkan ketersediaan data masyarakat sesuai karakteristik khusus, seperti usia dan jenis kelamin, termasuk aspek koordinasi data antarsektor.
Kami memandang pentingnya memastikan berbagai pembelajaran penanganan Covid-19 yang dibahas dalam konferensi global pengurangan risiko bencana saat ini digunakan untuk membenahi sistem penanganan bencana.
Menurut Arshinta, kurangnya ketersediaan data menyebabkan manajemen penanganan krisis menjadi kurang efektif. Di sisi lain, akses kelompok berisiko dan terpinggirkan terhadap intervensi yang dibutuhkan juga menjadi belum optimal.
Hal kedua yang perlu dibenahi terkait kapasitas dan kepemimpinan lokal dalam penanganan pandemi. Kapasitas tersebut perlu diperkuat agar aspek pengambilan keputusan lebih efektif, tepat, cepat, dan mengoptimlkan pengelolaan sumber daya.
Selain itu, catatan lainnya dari koalisi adalah komitmen untuk memastikan agenda pembangunan berkelanjutan harus berdampak terhadap semua orang. Agenda ini perlu diterjemahkan dalam pembenahan tata kelola pemenuhan hak dasar yang lebih inklusif, terintegrasi, dan mengedepankan pendekatan partisipastif di semua sektor serta menggunakan kerangka hak asasi manusia (HAM).
Ketua Humanitarian Forum Indonesia M Ali Yusuf menambahkan, keterlibatan masyarakat sipil dalam program pengurangan risiko bencana sangat penting. Sebab, masyarakat merupakan kelompok paling terdampak saat terjadi bencana. Keterlibatan masyarakat juga penting sebagai garda terdepan dalam aktivitas respons bencana.
”Masyarakat maupun kelompok keagamaan juga memunculkan berbagai inisiatif mandiri dan inilah yang dapat menjadi modal ketangguhan. Mereka mampu mendayagunakan sumber daya yang dimiliki, seperti pendanaan, fasilitas, dan sumber daya manusia,” katanya.
Ali memandang bahwa selama ini masyarakat sipil sudah turut dilibatkan dalam upaya pengurangan risiko bencana. Namun, pelibatan ini masih bersifat parsial dan tidak sistematis serta belum sepenuhnya inklusif. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses perencanaan dan penanganan bencana yang kurang memperhatikan kepentingan atau kebutuhan kelompok rentan atau marjinal.
”Ke depan, kami berharap pengurangan risiko bencana benar-benar diarusutamakan dalam perencanaan pembangunan mengingat kita akan menghadapi beragam risiko bencana yang terus meningkat karena perubahan iklim. Kemudian, pelibatan masyarakat sipil dan kelompok keagamaan juga bagian penting dari kolaborasi pentahelix,” ucapnya.
Agenda GPDRR
Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib mengatakan, tercatat sebanyak 20 persen dari total peserta GPDRR Ke-7 berasal dari pihak atau organisasi nonpemerintah dan sebagian besar di antaranya merupakan peserta baru. Data ini menunjukkan GPDRR memberikan catatan yang kuat bagi semua pihak dalam upaya pengurangan risiko bencana.
Pada hari kedua GPDRR berlangsung sejumlah agenda yang dihadiri dan dipimpin pejabat Pemerintah Indonesia. Tema agenda tersebut meliputi pembelajaran dari pandemi Covid-19 dan pendekatan pembiayaan dalam pengurangan risiko bencana. Dalam pertemuan itu, Indonesia juga sudah menyampaikan pandangan dan intervensinya.
Agenda hari kedua juga mengulas Kerangka Sendai untuk pengurangan risiko bencana yang dilaksanakan dalam dua sesi. Salah satu pembicara kunci sesi tersebut adalah Ketua DPR Puan Maharani yang secara khusus menyampaikan pernyataan terkait perubahan iklim, pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, dan manajemen kebencanaan.
”Agenda hari ketiga akan diselenggarakan dialog tingkat tinggi untuk mengulas Kerangka Sendai dan diakhiri dengan sesi penutupan GPDRR. Hari ini juga akan diselenggarakan lima sesi tematik dan agenda khusus lainnya,” kata Achsanul.