Ketidakpastian dan rasa frustrasi membuat puluhan pengungsi asal Afganistan, Irak, Yaman, dan Sudan, Rabu (8/2), berunjuk rasa di depan kantor perwakilan Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) di Jakarta. "Tidak ada yang dapat kami lakukan di sini, kembali ke Afganistan juga tidak mungkin, di sana nyawa kami terancam. Saya sudah berada di sini lebih dari tiga tahun, hingga saat ini belum ada kepastian," kata seorang pengungsi Afganistan tanpa mau menyebutkan namanya.
Yasser, yang berasal dari Irak, pun menghadapi situasi yang sama. Telah bertahun-tahun ia membawa keluarganya berpindah-pindah: mulai dari Baghdad, Kuala Lumpur, Pekanbaru, Bogor, dan terakhir di emperan gedung tempat UNHCR berkantor di Jakarta. Orangtua dan kerabatnya tewas dalam sebuah serangan bom di Baghdad. Dari konflik di Irak, Yasser juga membawa beberapa bekas luka di tubuhnya. Namun, menurut dia, luka yang paling dalam adalah hidup tanpa masa depan.
Tiga hari terakhir, ia turut dalam unjuk rasa itu. Ia berharap, para pihak terkait dapat menyembuhkan luka itu. Namun, tampaknya harapan itu tak akan segera terpenuhi. Derasnya arus pengungsi Suriah, Libya, dan Irak membuat Eropa dan Amerika Serikat kewalahan.
Dirjen Multilateral Kementerian Luar Negeri Hasan Kleib memahami situasi batin yang mereka alami. Apalagi setelah munculnya keputusan Presiden AS yang membatasi kehadiran migran dari negara tertentu.
Namun, di tengah berbagai upaya yang coba ditempuh, Hasan mengatakan, Pemerintah Indonesia tidak memiliki domain untuk memastikan penempatan para pengungsi. Ia menegaskan, Indonesia hanyalah negara transit. Selain itu, Indonesia pun tidak memiliki kewajiban menyediakan atau memberi izin kerja bagi pengungsi.
Juru Bicara UNHCR di Jakarta Mitra Salima mengatakan, pihaknya juga telah berupaya mencari aneka solusi, termasuk penempatan kembali. Namun, keputusan itu sangat tergantung negara bersangkutan. "UNHCR tidak memiliki kekuatan untuk campur tangan," kata Mitra.
Ia menjelaskan, saat ini lebih dari 65 juta orang terpaksa berpindah karena konflik dan kekerasan. Sebanyak 20 juta di antaranya telah mendapat status pengungsi dari UNHCR. Namun, dari 20 juta pengungsi itu, hanya kurang dari 1 persen memperoleh kesempatan ditempatkan kembali di negara ketiga. "Karena itu, kami sangat bisa memahami bagaimana rasa frustrasi mereka," kata Mitra.
UNHCR mengaku terus berupaya dan menjalin kerja sama dengan pemerintah dan sejumlah lembaga untuk mencari solusi terbaik. Salah satu yang diupayakan adalah kemungkinan adanya kesempatan kerja. Saat ini, tercatat terdapat lebih dari 14.000 pengungsi dan pencari suaka tinggal Indonesia. Sebagian tinggal di rumah detensi imigrasi. Semoga masih ada harapan tersisa untuk mereka.