Kekuasaan
Apa itu kekuasaan? Begitu tanya Robert Alan Dahl. Pertanyaan Dahl itu mengingatkan pada pertanyaan sangat kondang yang diajukan Pontius Pilatus kepada Yesus dalam sebuah pengadilan politik sekitar tahun 33. Ketika itu, Pontius Pilatus bertanya: ”Quid est veritas? Apa itu kebenaran?”
Pontius Pilatus adalah seorang pejabat Romawi yang mengemban tugas dari Kekaisaran Romawi untuk menjadi gubernur atau wali negeri atas Yudea. Ia dikenal sebagai seorang penguasa yang korup pada masa kekuasaannya di Yudea. Pilatus disebut sebagai seorang pemimpin yang tidak berani bertanggung jawab, memilih cuci tangan saat menghadapi persoalan demi tetap langgengnya kekuasaan yang ada di tangan.
Dahl, seorang teoritikus politik terkemuka dari AS, tidak bertanya, ”apa itu kebenaran?”, tetapi ”apa itu kekuasaan?”. Pertanyaan Dahl di atas mengawali karya tulisnya yang diberi judul ”The Concept of Power” atau Konsep Kekuasaan. Karya tulisnya itu (1957) merupakan sumbangan besar pertama pada bidang ilmu politik. Dahl juga memperkenalkan istilah polyarchy untuk memberikan ciri-ciri pada politik Amerika dan sistem politik lain yang terbuka, inklusif, dan kompetitif.
Menjawab pertanyaan tersebut—apa itu kekuasaan?—Dahl menjelaskan, A memiliki kekuasaan atas B apabila A dapat memengaruhi B untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tak dikehendaki B. Selain Dahl, ada banyak orang pintar lain yang memberikan definisi tentang kekuasaan. Misalnya, Max Weber, Harold D Lasswell, dan Abraham Kaplan. Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apa pun dasar kemampuan ini.
Pendapat Victor Frankl, profesor dalam bidang neurologi dan psikiatri di The University of Vienna Medical School, berbeda lagi. Menurut Frankl, yang pernah menjadi tawanan di kamp konsentrasi Jerman semasa Perang Dunia II—di dalam kamp konsentrasi itu orangtuanya, saudara laki-lakinya, istri, dan anak-anaknya mati—menjelaskan, kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sekadar sarana atau alat. Kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri hanya melahirkan paradigma kekuasaan atas manusia lain (dan rakyat), bahkan termasuk menghalalkan kekerasan, pemaksaan, pelecehan, air mata, dan darah—persis praksis kekuasaan di negeri ini. Nilai kekuasaan sejatinya adalah untuk mencapai (nilai) kemanusiaan.
Oleh karena itu, segala macam kenyamanan, kesejahteraan, keistimewaan, dan lain sebagainya hanyalah konsekuensi logis dari pemenuhan akan makna. Sementara kekuasaan sekadar sarana untuk menemukan makna tersebut. Jadi, manusia yang telah mencapai kemanusiaannya tak akan menggunakan kekuasaannya untuk menyengsarakan orang lain, khususnya rakyat. Mereka menggunakan kekuasaan untuk menguasai diri sendiri agar keinginan menemukan makna hidup terpenuhi.
Kekuasaan itu, meminjam Daniel Dhakidae (2015), ”Begitu nyata, sekaligus juga begitu misterius.” Dimensi kekuasaan mengaitkannya dengan kebijakan dan tanggung jawab sosial. Apakah kekuasaan itu tampak atau misterius, kalau sudah menyangkut kebijakan, urusannya publik dirugikan atau tidak baik jangka pendek atau panjang. Pendek kata, kekuasaan harus memberikan kemaslahatan bagi sesama (bonum commune).
Akan tetapi, apakah kekuasaan itu akan memberikan kemaslahatan bagi banyak orang atau tidak sangat bergantung pada niat. Niat merupakan akar kekuasaan. Misalnya, niat baik hanya dapat dibuktikan dari hasil kerja kekuasaan. Niat baik tidak dapat dibuktikan hanya dari kata-kata, tetapi hasil kerja.
Mengapa orang bertarung memperebutkan kekuasaan? Niatnya apa? Kalau niat kekuasaan sejak awal sudah tidak baik, hasilnya pun akan tidak baik. Sebaliknya, kalau niat kekuasaannya baik, akhirnya pun akan baik meskipun gagal menjalankan kekuasaan.
Apa pun teorinya, yang pasti kekuasaan itu memabukkan; membuat orang tergila-gila (untuk mendapatkannya, mempertahankannya, dan memperbesarnnya). Karena memberikan kenikmatan dan tidak jarang membuat lupa diri pemegang kekuasaan. Akibatnya, ketika saatnya sudah harus melepas kekuasaan, masih berusaha mempertahankannya. Ketika sudah tidak berkuasa, tetap belagu seperti masih memegang kekuasaan karena kenikmatan dan keistimewaannya itu.
Ada banyak contoh tentang hal itu. Pertarungan antara Presiden Kolombia Juan Manuel Santos dan mantan Presiden Alvaro Uribe. Uribe mengecam dan menentang jalan damai antara pemerintah dan pemberontak FARC, yang diambil Santos. Uribe berusaha menggagalkan langkah Santos.
Mahathir Mohamad, contoh lain. Ia yang sudah dua dasawarsa berkuasa di Malaysia sebagai perdana menteri sekarang ini tidak menikmati masa pensiunnya. Namun, justru terjun lagi ke mandala politik untuk melawan PM Najib Razak, yang dituduh terlibat skandal korupsi. Segala upaya dilakukan Mahathir.
Di Italia, Matteo Renzi, yang tahun lalu harus meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri Italia karena kalah dalam referendum, kini berjuang keras untuk merebut kembali kekuasaan yang hilang dari genggamannya. Langkahnya mungkin akan dihadang mantan Perdana Menteri Silvio Berlusconi yang kemungkinan akan maju lagi.
Luiz Inácio Lula da Silva pernah menjadi Presiden Brasil pada periode 2003-2010. Selama berkuasa, Lula berhasil meningkatkan kemakmuran dan gengsi Brasil. Ia lalu ”menyerahkan” kekuasaan kepada anak didiknya, Dilma Rousseff. Sayangnya, Rousseff harus turun lewat impeachment karena skandal korupsi yang dituduhkan kepadanya, tahun lalu. Lula, yang masih belum puas dan geram anak didiknya disingkirkan, kini siap-siap merebut kekuasaan lagi pada Pemilu 2018. Masih banyak contoh lain, silakan ditambah sendiri yang ada di sekitar kita.
Kekuasaan itu tremendum (menggetarkan) dan fascinosum (memesona). Yang banyak terjadi, di mana-mana, termasuk di negeri ini, adalah kekuasaan itu memabukkan. Banyak orang rela mabuk, lupa diri, demi yang namanya kekuasaan.
E-mail: trias.kuncahyono@kompas.com