Riyadh, Jakarta, dan Beijing
Hari ini, Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud tiba di Jakarta mengawali kunjungannya ke Indonesia. Kunjungannya ke Indonesia adalah bagian dari perjalanannya ke tujuh negara Asia: Malaysia, Indonesia, Brunei, Jepang, China, Maladewa, dan sebelum kembali ke Arab Saudi, Raja akan mengunjungi Jordania.
Berita tentang rencana kunjungannya ke Indonesia sudah tersiar, bahkan sejak lebih dari sepekan lalu. Cerita tentang Raja Salman dan keluarganya tersebar luas, baik di media arus utama maupun media sosial. Foto tentang raja dan, yang menurut cerita putrinya atau anggota keluarga kerajaan, yang cantik-cantik dan para pangerannya yang ganteng-ganteng muncul di media sosial. Persiapan kedatangannya ke Jakarta dan juga Bali-tentang hotel mewah yang akan digunakan untuk menginap, misalnya-juga banyak diberitakan.
Barangkali, inilah kali pertama kunjungan seorang raja yang demikian menarik perhatian masyarakat. Dalam dunia hubungan internasional, kunjungan para pemimpin politik senior atau kunjungan seorang pemimpin tertinggi sebuah negara ke negara lain dapat dimaknai sebagai sebuah isyarat kuat tentang nilai (value) dari hubungan bilateral.
Kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Arab Saudi (2014), misalnya, memiliki arti sangat penting dalam konteks hubungan kedua negara. Kunjungan itu dilakukan ketika hubungan kedua negara menuruni jalan terjal karena kebijakan AS melakukan perundingan soal nuklir dengan Iran, yang adalah "saingan utama" Arab Saudi di kawasan Timur Tengah. Obama perlu berkunjung ke Riyadh walau sekejap untuk meyakinkan mitra strategisnya bahwa Washington tidak meninggalkan Riyadh.
Tentu, kunjungan Raja Salman ke sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, adalah untuk menunjukkan arti penting negara yang dikunjungi bagi Arab Saudi. Arti penting, misalnya, China dan Indonesia, bagi Arab Saudi, tentu berbeda. Bagi Arab Saudi, China-yang merupakan salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia-saat ini adalah solusi potensial terhadap ketidaknyamannya hubungan Riyadh dengan Washington. China adalah negara besar, secara ekonomik dinamik, ideologi moderat, dan secara politik stabil. Sebagai kekuatan ekonomi besar, China merupakan pasar minyak bagi Arab Saudi dalam jumlah besar. Ini sangat penting bagi Riyadh.
Lalu, Indonesia? Indonesia menempati posisi yang khusus bagi Arab Saudi karena banyak alasan, baik ekonomi maupun politik dan strategis. Tak bisa dilupakan bahwa hubungan baik Indonesia dan Iran (baik secara politik maupun ekonomi) merupakan salah satu yang mendorong Arab Saudi untuk juga mengimbanginya. Inilah nilai strategis Indonesia bagi Arab Saudi. Indonesia, sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, juga merupakan negara yang bisa diterima semua pihak dalam konteks konflik Palestina; dalam usaha mencari perdamaian.
Terlepas dari semua itu, kiranya, pergeseran pusat gravitasi ekonomi-politik dunia ke arah Asia Timur (di mana China dan Indonesia berada) telah pula menarik Arab Saudi untuk bergerak ke Timur, yang semakin dinamis. Arab Saudi tidak ingin ketinggalan. Inilah yang disebut "Orientalisme" abad ke-21, negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi, yang menekankan perlunya aktif menjalin diplomasi dengan negara-negara di kawasan Timur. Langkah itu diambil antara lain untuk mengurangi tekanan Barat dalam reformasi politik domestik mereka.