Dari sekitar 125 juta ton ikan hidup pasokan kebutuhan dunia, kawasan Asia menghasilkan sekitar 85,4 juta ton. Ini terjadi pada tahun 2009. Menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), pada tahun 2014, RRC tercatat sebagai penangkap ikan laut terbesar dengan jumlah sekitar 15 juta ton per tahun.
Statistik perikanan sering kali menghadirkan beragam angka. Menurut data FAO, Indonesia tercatat sebagai penangkap ikan laut terbesar kedua dunia, dengan jumlah sekitar 6 juta ton. Sejak kebijakan moratorium penangkapan ikan di wilayah Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, jumlah ini pada posisi sekarang mungkin sudah mencapai 8-9 juta ton ikan dalam kurun waktu 2015-2016.
Bisa dipastikan, konsumsi pemakan ikan terbesar dunia adalah RRC dengan penduduk sekitar 1,4 miliar. Dan ikan memang menjadi menu utama orang Asia. Yang menarik, dari data statistik perikanan RRC, total produksi ikan laut negara ini tercatat hampir mencapai 33 juta ton ikan pada tahun 2014. Padahal, menurut catatan FAO, pada tahun 2014, total penangkapan ikan dunia mencapai sekitar 81,5 juta ton.
Angka statistik produk perikanan RRC memperlihatkan ada selisih sekitar 18 juta ton ikan untuk tahun 2014. Pertanyaannya, dari mana ikan-ikan yang ditangkap begitu banyak oleh nelayan-nelayan RRC ini? Kemungkinannya bisa melalui aktivitas penangkapan ilegal seperti dalam rumusan aktivitas perikanan IUU (illegal, unreported, and unregulated), termasuk pencurian ikan di mana-mana. Atau, diperoleh melalui para pengumpul yang menjual ikan-ikan mereka ke RRC.
Harian The Straits Times terbitan Singapura, Selasa (14/3), melaporkan, perusahaan Lu Haifeng menanamkan modal sebesar Rp 9,4 triliun di Negara Bagian Kedah, Malaysia, untuk membangun Terminal Perikanan Terintegrasi Kedah (Kift), untuk menampung operasi penangkapan ikan tuna oleh nelayan-nelayan RRC di Samudra Hindia.
Rencana pembangunan terminal ikan ini terkait rencana moratorium penangkapan ikan mengikuti rancangan undang-undang maritim RRC yang baru. Moratorium ini melarang penangkapan ikan di atas lintang 12 derajat di Laut Selatan, dan berlangsung 1 Mei 2017 sampai bulan Agustus mendatang. Artinya, akan ada 700.000 kapal nelayan ikan RRC yang tidak bisa melaut pada masa moratorium itu.
Dalam konteks ini, ada beberapa faktor yang perlu disimak. Pertama, bagaimana negara-negara Asia Tenggara mengantisipasi terjadinya gelombang kapal nelayan RRC yang akan beraktivitas di bagian selatan Laut Selatan sampai ke Samudra Hindia? Kedua, apakah akan ada ancaman gangguan kesetimbangan dalam keamanan pangan bersamaan dengan meningkatnya konsumsi ikan di kawasan Asia pada umumnya?
Dan ketiga, seberapa cepat Indonesia dan negara-negara pesisir Laut Selatan dan Samudra Hindia merealisasikan kerja sama perikanan sebagai penopang kalori dalam gizi makanan konsumsinya? Sesuai paradigma Hukum Bennett, ketika kesejahteraan masyarakat umumnya meningkat, mereka peroleh kalori dari sayuran, buah, daging, ikan, dan produk susu.
Guru Besar Ilmu Hukum UI Melda Kamil Ariadno dalam bukunya, Indonesian Responsibility for High Seas Fisheries: A Legal Analysis (2012), menyebutkan, ikan di laut lepas adalah komoditas ekspor terbesar banyak negara dan sumber daya perikanan tuna bermasalah sangat signifikan.
Perikanan tuna memerlukan penataan manajemen yang melampaui batas-batas administrasi wilayah dan juga negara sehingga pemanfaatan sumber daya ikan tuna sangat penting seperti dinyatakan dalam hukum laut internasional UNCLOS 1982 dan Perjanjian Pasokan Ikan PBB 1995.
Dalam konteks ini, posisi Indonesia terkait pembangunan kelautan sepertinya tidak cukup hanya melalui pendekatan Indonesia-sentris melalui pembangunan kawasan pulau terluar dan pinggiran. Keamanan pangan, khususnya perikanan, berhadapan dalam kompetisi pemanfaatan sumber daya perikanan di laut lepas akan menjadi semakin tajam sesuai dengan meningkatnya konsumsi ikan di banyak negara Asia.
Mengintegrasikan Jakarta Concord, produk politik dalam KTT Asosiasi Kerja Sama Lingkar Samudra Hindia (IORA) yang baru lalu tentang kelangsungan dan tanggung jawab manajemen dan pengembangan perikanan, memerlukan upaya tersendiri memastikan keamanan pangan negara pesisir kawasan Samudra Hindia. Perikanan adalah sumber potensi konflik masa depan.