Laut telah berubah. Perairan luas seolah tak terbatas di sekitar kita tidak lagi menjadi sumber penting kehidupan manusia masa mendatang. Kerusakan lingkungan akibat alam dan buatan manusia, menjadikan lautan sebagai sumber daya pangan berlimpah pada masa lalu dan tempat bergantungnya kehidupan masyarakat akan pangan dan pendapatan, tinggal menunggu waktu hancur oleh tangan-tangan manusia.
Lautan di seluruh perairan dunia sekarang menjadi tempat sampah yang bergerak dari negara satu ke negara lain. Kejahatan manusia akibat perbudakan di industri perikanan dunia berkembang tidak lagi menghargai harkat kemanusiaan yang semakin canggih akibat kemajuan teknologi modern. Lautan menjadi neraka akibat keserakahan industri perikanan dunia yang melakukan eksploitasi tak terkendali.
Celakanya, negara secara langsung dan tidak langsung terlibat dalam proses perusakan lingkungan laut. Sementara kehadiran negara di laut hanya sebatas hukum laut nasional ataupun internasional, menjaga apa yang disebut sebagai kedaulatan nasional tanpa berusaha mengembalikan dan mengembangkan kelestarian lingkungan laut menjaga keamanan pangan bagi generasi mendatang.
Penangkapan ikan berlebihan menjadi ancaman bagi sumber daya berlimpah yang menjadi menu utama di meja makan semua rumah di dunia. Sekarang giliran cumi yang diburu manusia ketika ikan-ikan jenis tuna sirip kuning, sirip biru, ikan kembung, ikan putih yang juga disebut hake (Urophycis), dan lainnya habis dikeluarkan dari lautan.
Itulah hukum rimba lautan, jenis ikan tertentu habis dan mulai punah, ikan jenis lain menjadi tangkapan baru dan diburu ke berbagai penjuru dunia. Penangkapan ikan berlebihan menyebabkan terjadi kesenjangan jenis-jenis ikan dalam ekosistem, yang sekarang diisi dengan jenis cumi raksasa.
Di lautan terbuka, tidak ada pencatatan akurat tentang jenis-jenis ikan yang dijadikan sumber utama industri perikanan dengan nilai ratusan miliar dollar AS. Sejumlah perusahaan di RRC, yang mencatat 18 persen total penangkapan ikan di samudra luas, sering kali melaporkan angka yang berlebihan untuk memenuhi target Beijing mencapai keluaran pertumbuhan ekonomi dan juga persaingan bagi subsidi negara.
Situasi kelautan ini mendorong Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, pekan lalu, mendesak agar perikanan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diregulasi (IUU) diakui sebagai kejahatan transnasional terorganisasi oleh PBB. Desakan ini termasuk perbudakan modern di kapal-kapal penangkap ikan yang menjadi praktik luas, sementara negara menutup mata agar tidak mengancam eksistensi industri perikanan.
Ini menjadi faktor penting buat Indonesia yang seluruh wilayah pesisirnya berbatasan langsung dengan laut. Ini juga menjadi faktor penting mengembangkan diplomasi maritim Indonesia berjuang menetapkan agenda (agenda setting) persoalan kejahatan transnasional terorganisasi IUU di PBB, mencegah konflik masa depan atas nama keamanan pangan.
Desakan Menteri Susi penting, mengantisipasi gerak kapal-kapal penjaga pantai negara mana pun ke luar wilayah teritorial kelautannya. Persoalan ini harus menjadi agenda utama di lingkungan ASEAN yang juga mengandalkan perikanan sebagai sumber ekonomi dan pangan anggotanya.
Konflik masa depan bisa dipicu punahnya ikan-ikan lautan. Tanpa kerja sama dan kesadaran banyak negara, khususnya RRC, lautan tidak akan aman oleh praktik perikanan IUU ini.
E-mail: rlp@kompas.com SMS: 081802-KOMPAS
Twitter: @renepatti