logo Kompas.id
InternasionalMembendung Upaya Kekuatan...
Iklan

Membendung Upaya Kekuatan Kontainer

Oleh
René L Pattiradjawane
· 4 menit baca

Laut China Selatan yang keseluruhan wilayahnya diklaim sebagai laut teritorial RRC, meski juga diklaim sebagian oleh empat negara ASEAN: Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, memasuki babak baru. Pekan lalu, pejabat senior ASEAN-RRC bertemu di Kamboja membahas kesepakatan rancangan kerangka kerja (framework) terkait tata perilaku (code of conduct) di kawasan itu. Indonesia sebagai negara tanpa klaim dan ingin berperan sebagai honest broker menyelesaikan sengketa yang berpotensi menghadirkan konflik terbuka itu seperti kehabisan stamina tanpa mampu menghadirkan gagasan baru terkait COC ini. Sangat terbuka kemungkinan, perundingan masalah Laut China Selatan tidak akan selesai pada tingkat ASEAN-RRC, tetapi mengikuti irama balkanisasi Asia Tenggara oleh Beijing.Tanpa menyinggung sembilan garis putus-putus (9DL) sejak putusan pandangan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) menjawab berbagai pertanyaan Filipina atas klaim RRC bulan Juli 2016, Beijing memanfaatkan kekuatan ekonomi mendekati negara-negara ASEAN lebih kecil. Meluluhlantakkan sentralitas dan kohesi ASEAN sebagai organisasi politik dan keamanan.Lingkungan strategis Asia Tenggara, termasuk Laut China Selatan, berubah drastis seiring maraknya kapal perang negara besar Amerika Serikat, Jepang, India, Perancis, Inggris, dan Rusia bermunculan di berbagai perairan Asia Tenggara. Lalu lintas kapal perang di sekitar Kepulauan Spratly dan Paracel di tengah Laut China Selatan menggunakan diktum alur laut lintas bebas (freedom passage) sesuai hukum laut internasional UNCLOS, sekaligus mengantisipasi perilaku asertif Beijing mencegah dominasi dan hegemoni maritim RRC.Berbagai tekanan terhadap ASEAN oleh kekuatan dalam dan luar kawasan semakin besar. Proyeksi maritimisasi Beijing menggelar kekuatan laut biru maupun legislasi domestik yang diberlakukan di Laut China Selatan, memanfaatkan momentum perubahan yang diperagakan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, berunding dengan RRC mengenai persoalan ini.Secara nyata, Beijing mengabaikan nilai dan norma hukum laut internasional UNCLOS, termasuk pandangan akhir PCA, yang pertama kali secara jelas dan tegas melakukan interpretasi atas UNCLOS tersebut. Pembangkangan RRC atas UNCLOS dan ketidakmampuan ASEAN menempatkan pandangan akhir PCA dalam penetapan COC telah memacu berbagai strategi maritim baru oleh negara-negara besar, berporos pada pandangan arsitektur maritim Indo-Pasifik untuk memastikan terciptanya stabilitas dan perdamaian di Laut China Selatan. Beijing mau apa di Laut China Selatan? Kita menduga, meminjam istilah Anthony Giddens dalam bukunya The Nation-State and Violence (1985), RRC berkembang menjadi kekuatan negara-bangsa "bordered power-container". Menurut Giddens, eksistensi bangsa terjadi ketika negara memiliki administrasi bersatu menjangkau kawasan klaim kedaulatannya.Dan negara-bangsa RRC di bawah kekuasaan Partai Komunis China (PKC) menjelang usia 100 tahun pada 2021 adalah perangkat yang memonopoli kawasan dengan demarkasi perbatasan (termasuk laut), dan diperintah melalui berbagai sanksi hukum dan kontrol langsung menghadapi berbagai bentuk kekerasan internal dan eksternal. Dan RRC adalah power-container, peti kemas kekuasaan yang sangat padat di mana pengawasan dan kontrol berlangsung nyaris tuntas.Proyeksi ini menjadi ancaman serius bagi ASEAN ketika negara-negara besar bersaing pengaruh di Laut China Selatan, dan mulai menarik negara-negara pesisir kawasan berada dalam lingkupnya. Apa yang harus dilakukan Indonesia untuk menjaga kesetimbangan dinamis kawasan agar tidak ada kekuasaan hegemoni disebar di kawasan Asia Tenggara?Pertama, sudah waktunya Indonesia sebagai negara perantara dalam klaim tumpang tindih Laut China Selatan duduk dan berdiskusi dengan empat negara ASEAN tentang persoalan klaim tumpang tindih mereka sendiri. Pertemuan bisa dilakukan informal, untuk saling memahami apakah klaim masing-masing sesuai dengan UNCLOS dan pandangan akhir PCA.Dan kedua, tanpa kesadaran di antara negara-negara ASEAN, dipastikan sentralitas dan kohesi ASEAN sebagai poros stabilitas dan keamanan tergerus oleh dominasi negara-negara besar, terutama RRC yang memiliki kepentingan sangat besar di Asia Tenggara. Kita perlu memahami, RRC berusaha mengintegrasikan tempat ke wilayah dan mengelola pertumbuhan yang tidak merata memanfaatkan kelemahan kohesi ASEAN.Peran Indonesia sebagai poros kekuatan maritim menjadi penting, khususnya melakukan koordinasi skala berbeda di kawasan maupun mempertahankan aliansi kekuatan regionalisme Asia Tenggara. Perilaku RRC sebagai penguasa teritorial (territorialist ruler) perlu pembendungan perluasan kekuatan kontainernya sebagai upaya ekspansi komersial.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000