Dalam usianya yang 50 tahun, banyak hal telah dilalui Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Sepanjang 50 tahun ini, semua bangsa di Asia-Pasifik, dalam kawasan maupun luar kawasan, memiliki kepentingan bersama meredakan ketegangan, konsolidasi saling percaya, dan reformasi bertahap atas tata perilaku sesuai dengan keuntungan bagi perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan regional.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menulis di harian ini (Kompas, 25/4) soal mekanisme arahan ASEAN (ASEAN-led mechanism) sebagai platform bertemunya negara-negara besar kawasan dalam dialog berbagai persoalan global dan regional. Banyak capaian bersama oleh ASEAN, melalui berbagai lika-liku berbagai perang, bencana yang disebabkan alam dan manusia, kemiskinan, kudeta, terorisme, dan banyak lainnya.
Dalam usia 50 tahun, ASEAN menghadapi dilema pilihan mempertahankan multilateralisme atau unilateralisme, masuk dalam pilihan-pilihan obyektif kepentingan nasional setiap negara anggotanya. Kalau sebelumnya hukum nyata dalam geopolitik adalah keseimbangan kekuatan, ASEAN menikmati kesempatan-kesempatan yang tersedia memainkan peranannya sebagai powerbreaker (perantara kekuatan).
Memasuki dekade kedua abad ke-21, pilihannya menjadi sangat sulit. Ketergantungan ekonomi dan perdagangan yang sangat kompleks menyebabkan putusnya ikatan-ikatan kesatuan dan sentralitas ASEAN. Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI, menggantikan terminologi ”satu sabuk satu jalan”) sebagai proyek kolosal menjadi rebutan negara-negara ASEAN, mengabaikan kepentingan bersama dalam semangat gotong royong ketika masih ASEAN-5.
Mengutip Kardinal Richelieu (1585-1642) asal Perancis, mantan Menlu AS Henry Kissinger menggambarkan geopolitik global dan regional dalam kalimat, ”Dalam urusan negara, mereka yang memiliki kekuasaan sering memiliki hak, dan mereka yang lemah hanya bisa bersusah payah menjauhkan diri dari pandangan salah oleh mayoritas dunia.”
Ini dilema ASEAN. Banyak faktor yang ikut menentukan. Pertama, dalam dunia pasca-Perang Dingin, negara menempatkan pentingnya hubungan ekonomi yang berfungsi sebagai sumber kehidupan negara. Hubungan negara kecil dan kekuatan besar menghadirkan pilihan-pilihan antara ketergantungan, akomodasi, pertaruhan, keterlibatan, kepatuhan, konsensus, aliansi, persekutuan kekuatan, dan asimetri.
Kedua, ASEAN terlalu lama mengabaikan lingkungan laut sekitar, yang berabad-abad dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan besar luar kawasan. Ketika China mengendalikan Laut China Selatan, tidak ada satu negara ASEAN secara terbuka menentang hegemoni kolonialisasi lautan sekitar Asia Tenggara. Lautan bagi ASEAN terlalu penting diabaikan begitu saja.
Banyak hal perlu dicari akomodasi memadai mempertahankan kesatuan dan sentralitas ASEAN. Interaksi ASEAN dengan berbagai kekuatan luar kawasan memiliki banyak variabel, seperti sejarah, sistem politik, kepentingan, peran nasional, nilai, aliansi-aliansi, kemitraan, kebudayaan, dan kebijakan luar negeri. Ini pekerjaan besar bagi ASEAN.