logo Kompas.id
InternasionalMitra Multilateral
Iklan

Mitra Multilateral

Oleh
René L Pattiradjawane
· 3 menit baca

Kita mencatat, berbagai kunjungan luar negeri Presiden Joko Widodo selalu berlangsung pada akhir pekan, seperti ke India dan Australia belum lama ini. Akhir pekan ini, Presiden Jokowi berangkat ke Beijing menghadiri KTT Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI).Pertemuan tingkat tinggi ini penting karena pertama kali diselenggarakan dalam kerangka inisiatif China mengembangkan BRI (dulu OBOR, One Belt One Road), menawarkan model pembangunan skala global. Bagi Presiden Jokowi, KTT BRI ini juga menjadi penting, setidaknya Indonesia bisa ikut menentukan agenda pengembangan kerja sama global yang sangat masif dan tidak ada preseden sebelumnya.Baik para penguasa maupun akademisi di Beijing masih terus mencari bentuk memadai kerja sama inklusif ini. Ini, antara lain, menjelaskan adanya perubahan penamaan dari strategi menjadi inisiatif dan menghilangkan kata yi (satu atau one dalam bahasa Inggris) dalam kerja sama banyak negara ini. Tujuannya, menghilangkan dominasi dan hegemoni RRC dalam kebangkitannya mengikuti nuansa "Mimpi China" yang menjadi cita-cita Presiden RRC Xi Jinping.Antusiasme China memperluas kerja sama BRI setidaknya didasari tiga hal sesuai kebutuhan pembangunan ekonominya, yaitu kebutuhan sumber daya alam dan bahan mentah, kebutuhan ekspor surplus produknya, dan kebutuhan menyalurkan surplus kapital yang dimilikinya. Ketiga persoalan ini dianggap bisa dipenuhi melalui pengembangan intensif BRI dengan strategi saling menguntungkan (win-win) seperti yang menjadi retorika standar oleh para pemimpin China.Kita sering kali terkecoh dengan gagasan-gagasan proyek kerja sama dalam BRI ini, mana yang masuk kategori "sabuk" dan "jalan". Sebagai inisiatif, BRI sangat rumit, banyak sampingan bernuansa bilateral, seperti Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC) yang menjadi segmen penting BRI, tetapi sekaligus menjadi ancaman nyata bagi negara tetangga India, karena segmen ini melewati wilayah Gilgit-Baltisan yang menjadi kawasan perseteruan di Jammu dan Kashmir.Dalam lingkup kebijakan luar negeri Indonesia, kehadiran Presiden Jokowi harus mencerminkan kepentingan nyata dan tidak nyata secara bersamaan. Duta Besar RI untuk Inggris Rizal Sukma dalam pidato di acara Anglo-Indonesian Society Meeting, pekan lalu, menyebut perdagangan, investasi, dan turisme sebagai langkah nyata sesuai dengan kepentingan Indonesia. Hasil tidak nyata mencakup persoalan keamanan dan terpeliharanya kedaulatan tiap-tiap negara.Yang mengkhawatirkan, rancangan komunike bersama KTT BRI tidak menyinggung peran utama maritim sebagai "jalan" seperti dalam gagasan Jalan Sutra Maritim Abad Ke-21 (MSR) ataupun terkait dengan pemikiran inklusif win-win, misalnya, seperti akses ke pasar China dengan konsumen yang banyak menabung ketimbang melakukan konsumsi.Diplomasi akhir pekan Presiden Jokowi menghadiri KTT BRI perlu mendorong perlunya koordinasi konektivitas bagi pembangunan internasional berupa sinergi pandangan kelautan sebagai tulang punggung penting bagi Indonesia. Konektivitas Indonesia akan sangat tergantung pada kerja sama maritim dengan banyak negara di berbagai kawasan dunia.Presiden Jokowi dalam pidatonya nanti di KTT BRI juga perlu menekankan kemitraan dalam konteks sinergi BRI, tidak bisa bergerak secara ambigu mengikuti keuntungan semata. Sinergi kemitraan yang dikembangkan BRI harus memiliki semangat kesejahteraan dan multilateralisme, tidak hanya mendorong kepentingan bilateral. Dalam konteks ini, kita menuntut Beijing mendorong ASEAN sebagai kesatuan kemitraan tidak terpisahkan bagi kesinambungan kerja sama BRI.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000