logo Kompas.id
InternasionalMultilateralisasi Sabuk dan...
Iklan

Multilateralisasi Sabuk dan Jalan

Oleh
René L Pattiradjawane
· 4 menit baca

Belum pernah terjadi dalam sejarah diplomasi dunia, konferensi tingkat tinggi dipenuhi dengan janji pendanaan masif mencapai 124 miliar dollar AS bagi kerja sama pembangunan dalam jejaring Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI). Presiden China Xi Jinping, dalam pidatonya, menjanjikan penambahan dana Rp 1.653 triliun bagi proyeksi ambisi China mewujudkan jaringan kerja sama masif melibatkan pembangunan infrastruktur, perdagangan, ekonomi inklusif, serta keuangan yang menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa secara serentak.Ambisi China membangun tata dunia ekonomi baru, mencakup 65 negara sebagai representasi 60 persen penduduk dunia dan sekitar sepertiga dari total produk domestik bruto dunia. Keseriusan proyeksi ambisi China ini tecermin pada pendanaan yang sudah dikeluarkan Bank Pembangunan China, mencapai 890 miliar dollar AS, bagi pembangunan 900 proyek di sejumlah kawasan Asia, Afrika, dan Eropa.Melalui pendanaan masif, sebaran pengaruh China di banyak kawasan menjadi semakin nyata. Dalam pidatonya pada pembukaan KTT BRI, Presiden Xi menyebutkan semakin luas konflik dan krisis di banyak kawasan yang segera harus ditangani secara bersama.Melihat besaran pendanaan dijanjikan China ini, ada keraguan kita melihat refleksi kehadiran bantuan ekonomi dan keuangan RRC. Pertama, ukuran ekonomi dan kekuatan di belakang China daripada pertumbuhan negara-negara Asia Tenggara, berkembang sangat menakjubkan sejak 1990-an. Pertumbuhan asimetri ini telah menciutkan banyak negara Asia Tenggara dan sering kali dianggap sebagai sumber keretakan dalam menjaga sentralitas ASEAN dan keutuhannya sebagai organisasi regional.Kita sering meragukan kesungguhan China dalam mengembangkan kerja sama pembangunan inklusif yang mengabaikan norma dan nilai hukum internasional. Perilaku China di Asia Tenggara, khususnya terhadap klaim tumpang tindih kedaulatan di Kepulauan Spratly, tidak mencerminkan inklusivitas yang dijanjikan dan menyulitkan bagi banyak negara ASEAN untuk tunduk pada pendanaan China ketimbang hukum laut internasional.Kedua, negara-negara ASEAN khawatir tingkat ketergantungan secara ekonomi akan menyebabkan Beijing melecehkan kebijakan luar negeri setiap negara Asia Tenggara. Ini berlaku pada diplomasi Indonesia, Singapura, dan Filipina. Ada kesulitan ASEAN membangun sinergi memadai antara Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) yang sudah berlangsung setahun dan gagasan China tentang BRI.Ini, misalnya, tecermin dari tidak adanya rancangan proyeksi kerja sama inklusif BRI bagi pendanaan proyek-proyek maritim mengikuti logika konsepsi Jalan Sutra Maritim Abad Ke-21 yang dicanangkan Presiden Xi Jinping dalam pidatonya di depan DPR RI pada 2013. Kita belum melihat mekanisme rancangan pembangunan jalur-jalur laut dalam BRI karena lebih banyak pada infrastruktur pembangunan jalur kereta api atau jalan tol yang sifatnya lebih bilateral ketimbang multilateral.Dan ketiga, ketimpangan perdagangan ASEAN dan China semakin melebar. Tahun 2008, ketimpangan perdagangan ASEAN-China 2,4 miliar dollar AS. Pada 2014, defisit perdagangan ASEAN dari China membengkak menjadi 63,7 miliar dollar AS. Selama lima tahun terakhir, ASEAN menjadi sentra jejaring produk regional bagi China, bersamaan dengan berlomba-lombanya negara ASEAN mencari peluang akses pasar China yang besar.Ketergantungan negara-negara ASEAN pada ekonomi dan perdagangan China adalah keniscayaan, tapi juga berharap kalau inklusivitas BRI ikut mendorong pembangunan jejaring modern infrastruktur mulai dari kereta api cepat, jalan tol, pelabuhan, hingga sambungan kabel laut. Namun, di sisi lain, dalam kerja sama keamanan, ASEAN masih condong pada payung keamanan AS mengimbangi kebangkitan RRC untuk tidak terlalu dominan di kawasan.Bisa saja China menyarukan antara mekanisme multilateral dan unilateral, seperti pendanaan masif di Pakistan, atau kerja sama bilateral lain di sepanjang perbatasan negara-negara tetangga RRC yang sekarang terhubung melalui jalur kereta api. Di Asia Tenggara, persoalan ini berbeda karena posisi geopolitik dan interaksi negara-negara besar luar kawasan, seperti AS, Jepang, dan India.Kita tidak pesimistis dengan gagasan dan inisiatif yang disampaikan Presiden Xi Jinping dalam pidato pembukaan KTT BRI. Namun, secara bersamaan kita percaya upaya gotong royong dalam menyelesaikan persoalan bilateral, regional, dan multilateral di Asia Tenggara adalah solusi memadai yang mendorong kerja sama lebih luas dan mendalam.Bibit semangat kerja sama ini sudah ada sejak Krisis Keuangan Asia 1997, ketika ASEAN+3 (China, Jepang, dan Korea Selatan) membangun mekanisme perjanjian pertukaran mata uang yang sekarang lebih dikenal sebagai Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM). Semangat multilateralisasi ini pun seharusnya bisa diterapkan mendorong kerja sama BRI saling menguntungkan, berkelanjutan, melengkapi kepentingan masing-masing, saling bertanggung jawab. China bisa menggelar inisiatif ini tanpa khawatir adanya kecurigaan strategis dalam muatan BRI sesungguhnya.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000