Berada di Timur Tengah, negara Mesir cukup dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Negara ini termasuk yang mendukung Indonesia pada masa kemerdekaan dulu. Cukup banyak pula warga Indonesia yang menempuh studi di Kairo, ibu kota Mesir.
Mesir juga merupakan salah satu negara berpenduduk mayoritas Muslim yang tampak kelelahan dalam urusan pertarungan ideologi. Bahkan, negeri itu sejak revolusi tahun 2011 menghadapi ancaman goyahnya sendi-sendi sistem negara bangsa yang telah disepakati sebelumnya untuk diadopsi oleh Mesir setelah era kolonial.
Berdiri pada 1928 di tangan Sheikh Hassan al-Banna di kota Ismailia, tepi Terusan Suez (sekitar 100 km arah timur kota Kairo), Ikhwanul Muslimin (IM) disebut oleh para ahli sebagai lahirnya gerakan Islam politik di Mesir dan dunia Islam. Doktrin dasar IM sebenarnya hanya untuk memperbaiki masyarakat Muslim setelah sekian lama hidup di bawah pemerintahan kolonial. Namun, banyak dari para aktivis organisasi itu kemudian memiliki misi politik dengan segala aktivitas mereka.
IM segera terlibat gesekan dengan kekuatan politik yang sudah mapan dan berkuasa pada era monarki, yakni partai liberal Wafd. Gesekan IM-Wafd disebut gesekan pertama Islamis-liberal di Mesir, atau pertarungan ideologi pertama pada era Mesir modern.
Puncak gesekan IM-Wafd terjadi saat tewasnya PM Mesir, Nokrasy Pasha, yang berasal dari Partai Wafd tahun 1948 di tangan aktivis IM. Tidak lama setelah itu, pendiri IM, Sheikh Hassan al-Banna, juga tewas pada Februari 1949. Kematiannya diduga terjadi akibat aksi balas dendam atas tewasnya Nokrasy Pasha.
Sejarah Mesir semakin kelam ketika militer dan IM berkoalisi menumbangkan sistem monarki pada tahun 1952. Militer-IM bukannya bahu-membahu membangun Mesir, melainkan segera terlibat pertarungan perebutan kue kekuasaan pada era setelah monarki itu. Konflik IM-militer disebut secara ideologi disebut konflik Islamis-nasionalis.
Puncak konflik militer-IM tersebut terjadi ketika ada upaya percobaan pembunuhan yang gagal terhadap Presiden Gamal Abdel Nasser pada tahun 1954 di kota Alexandria oleh aktivis IM. Gamal Abdel Nasser lalu segera mengumumkan IM sebagai organisasi terlarang. Ribuan aktivis mereka dijebloskan ke penjara pada saat itu.
Abdel Nasser sejak saat itu memegang kekuasaan tunggal. Pintu demokrasi ditutup rapat-rapat hingga ia wafat pada tahun 1970.
Para ahli menyebut, konflik IM-Wafd pada 1930-an dan 1940-an, lalu perseteruan IM-militer 1950-an, merupakan hambatan terbesar berkembangnya kehidupan demokrasi di Mesir. Konflik pada 1940-an dan 1950-an itu menjadi awal bagi terbukanya jalan menuju era diktator di Mesir dari 1952 hingga sekarang.
Hal tersebut menyebabkan tidak berkembangnya tata kelola yang baik bagi kehidupan ideologi-ideologi di Mesir dari era monarki hingga saat ini. Waktu itu, kemungkinan bagi berkembangnya ideologi secara sehat juga ditutup oleh sistem pemerintahan diktator.
Dampaknya sangat terasa ketika Mesir menghirup udara kebebasan setelah revolusi 2011 yang ditandai dengan tumbangnya diktator Presiden Hosni Mubarak. Waktu itu terlihat para pemimpin kekuatan politik yang berasal dari berbagai latar belakang ideologi gagap, seperti bayi baru lahir, dalam menghadapi pertarungan ideologi guna membangun negara baru setelah revolusi 2011.
Tiba-tiba saat itu terjadi pertarungan sengit Islamis-liberalis dan Islamis-nasionalis. Saat itu sangat terasa bahwa persoalan ideologi belum selesai di Mesir karena sebelumnya tidak pernah diberi ruang untuk bersemai secara sehat dari 1940-an hingga sekarang.
Lebih runyam lagi, terakhir ini muncul kekuatan politik di Mesir yang menolak sistem negara bangsa, serta memimpikan berdirinya kembali negara khilafah, seperti kelompok Wilayah Sinai yang merupakan sayap kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Mesir. Kelompok Wilayah Sinai sebelumnya bernama kelompok Beit al-Maqdis.
Kelompok ini sering menyasar kaum minoritas di Mesir, seperti kaum Kristen Koptik. Kelompok ini melakukan kekerasan di sejumlah tempat, terutama di Semenanjung Sinai Utara.
Tatanan masyarakat Mesir akhirnya goyah, menjadi terpolarisasi cukup tajam berdasarkan ideologi politik. Di tengah masyarakat Mesir kini terganggu pula hubungan mayoritas-minoritas yang sebenarnya telah terjalin cukup baik sejak abad ke-19.
Para pemimpin politik Mesir gagal mencapai kesepahaman dalam membangun sistem demokrasi modern setelah revolusi 2011 dengan tata kelola perbedaan ideologi yang baik dan dewasa. Akhirnya, di negara yang karut-marut itu terbuka peluang bagi militer untuk kembali berkuasa dengan menggulingkan pemerintah Presiden Muhammad Mursi pada 3 Juli 2013.
Pemerintah baru Mesir sekarang menggunakan lembaga Al Azhar sebagai garda depan untuk melakukan pembaruan pemahaman keagamaan. Caranya, mereka membangun doktrin wasatiyah, kewarganegaraan tanpa dikotomi mayoritas-minoritas, pluralisme, toleransi dalam sistem negara bangsa di Mesir. Tentu masih dibutuhkan waktu untuk melihat hasil upaya Al Azhar yang bekerja sama dengan lembaga-lembaga negara dalam melakukan pembaruan pemahaman keagamaan tersebut. (Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir)