Pemilu Iran, Visi Reformis, dan Konsep Vilayat-e Fakih
RAKYAT IRAN, JUMAT — (19/5) ini, memberikan hak suara mereka untuk memilih presiden negara itu. Saat ini ada empat dari enam calon presiden yang diloloskan Lembaga Garda Konstitusi masuk bursa calon presiden dalam pemilu presiden Iran 2017.
Dari empat calon presiden (capres) tersebut, dua dari kubu reformis-moderat, yaitu capres petahana Hassan Rouhani dan Mostafa Hashemitaba, mantan Ketua Badan Urusan Pemuda dan Olahraga. Dua capres lain berasal dari kubu konservatif, yaitu Ebrahim Raisi dan Mostafa Mirsalim, mantan Menteri Kebudayaan.
Pekan ini, dua capres secara mengejutkan menyatakan mengundurkan diri, yaitu Eshaq Jahangiri dari kubu reformis, yang saat ini menjabat Deputi Utama Presiden Rouhani, serta Mohammad Baqer Qalibaf dari kubu konservatif, yang kini menjabat Wali Kota Teheran.
Berbagai jajak pendapat ataupun analisis media menyebut, dari empat capres yang tersisa itu, hanya Rouhani dan Raisi yang akan bersaing ketat. Persaingan keduanya merepresentasikan pertarungan sengit kubu reformis versus konservatif dalam pemilu presiden 2017. Adapun Hashemitaba dan Mirsalim disebut hanya penggembira belaka.
Fenomena pertarungan sengit antara capres reformis dan konservatif selalu berulang di setiap pemilu presiden Iran sejak era Presiden Hashemi Rafsanjani (1989-1997) sampai saat ini. Pertarungan kubu reformis versus konservatif itu menjadi model dinamika politik di Iran pasca-Revolusi 1979 yang menganut konsep politik Vilayat-e Fakih.
Konsep Vilayat-e Fakih adalah konsep politik Islam Syiah yang menempatkan Wali el-Fakih sebagai pemimpin tertinggi di negara Iran. Wali el-Fakih kini disebut pemimpin spiritual, yang saat ini dijabat Ali Khamenei. Sebelumnya, pemimpin spiritual dijabat pemimpin Revolusi 1979, Ayatollah Imam Khomeini.
Adapun presiden yang dipilih secara demokratis justru menempati posisi orang kedua dalam konsep politik Vilayat-e Fakih. Pada era Imam Khomeini, konsep Vilayat-e Fakih diterapkan secara ketat dan kaku hingga cenderung mengorbankan kebebasan di Iran.
Di kalangan kaum cendekiawan Iran muncul perdebatan sejak era Imam Khomeini tentang model ideal dalam pelaksanaan konsep Vilayat-e Fakih. Namun, perdebatan kaum cendekiawan itu tidak dimunculkan ke permukaan karena kuatnya hegemoni Imam Khomeini.
Rafsanjani, yang menjabat Presiden Iran selama periode 1989-1997, adalah tokoh yang berani melakukan reformasi ekonomi pasca-Revolusi 1979 dengan menerapkan model semiliberalisasi ekonomi melalui keputusan privatisasi sejumlah perusahaan negara.
Reinterpretasi
Kebijakan ekonomi terbuka Rafsanjani tersebut dianggap bagian dari bentuk penafsiran reformis terhadap konsep Vilayat-e Fakih di bidang ekonomi.
Perkembangan berikutnya, mulai muncul suara tuntutan perlu dilakukan penafsiran terhadap konsep Vilayat-e Fakih yang lebih terbuka di bidang budaya dan politik. Tuntutan ini terdengar sangat lantang di era Presiden Mohammad Khatami (1997-2005) yang berasal dari kubu reformis. Tuntutan itu banyak disuarakan oleh para mahasiswa dan kaum Islam kiri Syiah.
Muncullah cendekiawan Iran semacam Abdolkarim Soroush, yang melahirkan banyak karya buku tentang pembaruan Islam Syiah dan perlunya penafsiran ulang konsep Vilayat-e Fakih. Buku-buku karya Abdolkarim Soroush sangat laris di kalangan mahasiswa, terutama sejak era Presiden Khatami.
Dalam gerakan politik, kemudian muncul Gerakan Hijau yang dipimpin tokoh reformis Mir Hossein Mousavi dan Mehdi Karroubi. Gerakan Hijau menuntut kebebasan lebih luas di Iran serta mengurangi hegemoni pemimpin spiritual.
Para aktivis Gerakan Hijau tersebut turun ke jalan di Teheran, memprotes hasil pemilu presiden 2009. Saat itu, Hossein Mousavi, capres kubu reformis, dinyatakan kalah dari capres kubu konservatif, Mahmoud Ahmadinejad. Mousavi dan Karroubi dikenai tahanan rumah sejak Februari 2011 karena dituduh mendukung aksi unjuk rasa Gerakan Hijau tersebut.
Pertarungan antara Rouhani dan Raisi dalam pemilu 2017 merupakan bagian dari rangkaian pertarungan kubu reformis versus konservatif sejak era Rafsanjani. Pertarungan Rouhani dan Raisi beberapa hari terakhir ini terasa semakin sengit hingga melampaui batas etika tradisi politik Iran pasca-Revolusi 1979.
Kesepakatan nuklir bulan Juli 2015 antara pemerintah Presiden Rouhani dan Barat menjadi isu paling panas sepanjang kampanye menjelang pemilu presiden, Jumat ini. Rouhani selalu membanggakan kesepakatan nuklir itu sebagai pintu untuk membuka hubungan secara luas antara Iran dan masyarakat internasional.
Perang atau damai
Rouhani mengklaim, kesepakatan nuklir itu berhasil mencabut sebagian blokade terhadap Iran dan sejumlah aset negara itu di Barat juga mulai dicairkan. Bahkan, Rouhani dalam kampanye terakhir, Rabu lalu, memperingatkan rakyat Iran dengan memberi pilihan dalam pemilu presiden hari Jumat ini berupa pilihan perang atau damai.
Ia secara tidak langsung memberi pilihan kepada rakyat Iran, yakni jika memilih Raisi, pilihannya adalah perang dan konfrontasi dengan masyarakat internasional. Sebaliknya, jika memilih Rouhani, berarti rakyat Iran memilih damai.
Adapun Raisi menyerang kebijakan keterbukaan Rouhani terhadap Barat yang hanya menguntungkan kelompok orang kaya dan semakin memperlebar jurang pemisah antara warga kaya dan warga miskin di Iran.
Kini menunggu pilihan rakyat Iran, Jumat ini: apakah mereka memilih Rouhani atau Raisi.