JAKARTA- KOMPAS - Duta Besar RI di Qatar, Marsekal Purnawirawan Basri Sidehabi meminta Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di negara tersebut untuk tetap tenang dan waspada terkait pemutusan hubungan diplomatik beberapa negara di Timur Tengah dengan Qatar. Selanjutnya, WNI yang menetap di negara tersebut diminta menunggu instruksi selanjutnya dari KBRI Doha.
Berdasarkan pantauan KBRI Doha, situasi dan kondisi relatif aman dan terkendali meskipun aparat keamanan lebih banyak dibanding hari biasanya, pasca Arab Saudi, Persatuan Emirat Arab (PEA), Mesir dan Bahrain menyatakan memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Sebagian WNI yang berada di Qatar telah bekerja bertahun-tahun pada perusahaan gas di Negara tersebut.
Dari informasi yang diterima Kompas, Senin (5/6) malam menyebutkan, pemutusan hubungan diplomatik Qatar dan negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC) tampak lebih buruk dibanding yang terjadi pada 2014. Pada waktu itu, Persatuan Emirat Arab (PEA), Bahrain dan Saudi Arabia hanya menarik duta besarnya dari Qatar selama delapan bulan guna menghukum Qatar karena dianggap mendukung Ikhwanul Muslimin (IM).
Dijelaskan bahwa sejak revolusi rakyat yang juga disebut Musim Semi Arab pada tahun 2011, Qatar masuk dalam poros negara-negara Sunni pro Ikhwanul Muslimim (IM), yang terdiri dari Qatar, Turki, Tunisia, Libya, Hamas dan Maroko. Sedangkan di sisi lain adalah poros Sunni kontra IM, yang terdiri dari Arab Saudi, Kuwait, PEA, Bahrain, Aljazair, Mesir, Otoritas Palestina di Ramallah. Meskipun Qatar berupaya untuk dekat dengan Negara GCC, namun politik luar negeri Qatar sangat kental dipengaruhi oleh dua kutub tersebut.
Selain itu, kebijakan politik luar negeri Qatar dikenal relatif pragmatis dan kerap bermain di banyak kaki untuk menjaga kepentingan nasional. Qatar yang memiliki penduduk asli sekitar 15 persen dari total populasi Qatar sekitar 2,6 juta sehingga rentan dalam kondisi politik dan keamanan di kawasan. Meski rilis yang dikeluarkan QNA telah dibantah, sebenarnya rilis tersebut relatif mencerminkan kebijakan politik luar negeri Qatar.
Meningkatnya ketegangan antara Sunni dan Syiah di kawasan tentunya berdampak berdampak pada negara GCC termasuk Qatar yang dikelilingi oleh negara-negara yang mayoritas masyarakatnya pemeluk paham Syiah, seperti Bahrain, Iran, Irak dan Arab Saudi bagian Timur. Menurut sumber KBRI, 60 persen warga asli Qatar merupakan keturunan Parsi. Meski demikian penganut Syiah di Qatar hanya tercatat sekitar 10 persen.
Memburuknya hubungan antara Saudi dan Iran menempatkan Doha pada posisi yang sulit, mengingat yang dekatnya hubungan Qatar dengan Saudi Arabia dan kuatnya hubungan ekonomi dengan Iran. Qatar dalam posisi sulit karena mendukung kebijakan GCC dalam menghadapi Iran.
Qatar juga memiliki hubungan ekonomi yang strategis dengan Negara Iran terkait dengan kepemilikan bersama atas ladang gas dan memiliki batas maritim dengan Iran. Sebagai negara kecil, Qatar terancam terjebak dalam konflik antara antara Teheran dan Riyadh. Meski Qatar berupaya mendukung kebijakan sekutunya GCC, namun Qatar harus memastikan bahwa hubungan ekonomi dengan Iran tidak dirugikan secara permanen.
Sebenarnya, sejak bertahta pada tahun 2013, Emir Qatar berupaya meningkatkan hubungan dengan negara-negara GCC dengan mengakomodir kebijakan luar negerinya sesuai dengan kebijakan kelompok negara-negara tersebut. Selain itu, Qatar juga selalu membantah mendukung kelompok radikal di Suriah dan menegaskan tidak mendukung IM dan kelompok Hamas.
Namun, Qatar enggan mencap IM sebagai kelompok teroris seperti negara negara GCC lainnya dan enggan mengusir tokoh-tokoh IM dan Hamas.
Hal tersebut tampaknya menyebabkan kepercayaan negara-negara GCC terhadap Qatar semakin pudar. Beberapa pengamat menyimpulkan "enough is enough" bagi Qatar yang dianggap kerap "bermain api" di kawasan.
Gagal kelola media
Namun Pemerintah Qatar mengakui kegagalannya dalam mengelola media-media di Qatar khususnya Aljazeera yang dianggap kerap mengecam kebijakan pemerintah di negara-negara GCC dan Timur Tenggah lainnya sehingga membuat kondisi politik di kawasan bergejolak.
Sebab perselisihan antara Qatar dan negara-negara Arab Teluk tak lepas dari pemberitaan kantor berita Qatar, Qatar News Agency (QNA), merilis pernyataan Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, yang isinya antara lain dianggap mendukung agenda Iran, Hamas, Hizbullah dan Israel dan memperkirakan kemungkinan Presiden AS Donald Trump akan jatuh.
Pernyataan kontroversial yang dirilis QNA tersebut telah dibantah Kemlu Qatar dan mengangap QNA telah dibajak. Pejabat Qatar menyangkal rilis tersebut dan berjanji menyelidiki masalah ini dan mengadili pihak yang bertanggung jawab.
Meski dibantah namun media-media di PEA khususnya Sky News Arab dan Al Arabiya terus memberitakan hal tersebut dan akhirnya berujung pada pemutusan hubungan diplomatik negara-negara GCC dan Mesir dengan Qatar.