logo Kompas.id
InternasionalRetaknya Dua Pilar
Iklan

Retaknya Dua Pilar

Oleh
TRIAS KUNCAHYONO
· 3 menit baca

Pada 3 Januari 2016, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel bin Ahmed al-Jubeir mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran. Keputusan itu diambil setelah penyerangan terhadap Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran dalam sebuah protes menentang eksekusi terhadap sejumlah orang yang dituduh sebagai teroris (Al Jazeera, 2016). Ada 47 orang yang dituduh sebagai teroris dieksekusi di Arab Saudi. Banyak di antara yang dieksekusi itu disebut terkait dengan penyerangan di Arab Saudi antara tahun 2003 dan 2006. Empat orang di antaranya disebut-sebut sebagai tokoh Syiah. Mereka, antara lain, Sheik Nimr al-Nimr, seorang pemimpin Syiah yang dituduh terlibat kerusuhan dan memimpin protes anti-pemerintah di Arab Saudi bagian timur pada tahun 2011.Keputusan Riyadh tersebut diikuti sejumlah negara Arab. Pada hari berikutnya (4 Januari 2016), Bahrain dan Sudan memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Uni Emirat Arab memerintahkan diplomatnya untuk pulang. Djibouti juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Qatar dan Kuwait memerintahkan duta besarnya untuk pulang. Menanggapi keputusan Arab Saudi itu, Iran, selain menyesalkan penyerangan terhadap Kedubes Arab Saudi di Teheran, juga menyatakan bahwa eksekusi terhadap Al-Nimr adalah kesalahan besar. Teheran menyatakan, tumpahnya darah seorang pemimpin Syiah akan menodai kerah "keluarga Saud." Teheran juga mengecam tindakan eksekusi itu. Desakan agar Iran membalas tindakan Arab Saudi itu tidak hanya muncul di Teheran, tetapi juga di Baghdad dan Beirut, LebanonIni merupakan peristiwa terakhir menyangkut hubungan kedua negara. Hingga tahun 1970-an, Arab Saudi dan monarki pro-Barat Iran di bawah kepemimpinan Shah Resa Pahlevi dapat dikatakan sebagai "dua pilar" dari tatanan regional setelah Amerika Serikat mengambil alih "kekuasaan" atas Teluk Parsi dari Inggris. Akan tetapi, setelah Revolusi Iran, 1979, yang mengubah norma sosial-politik Iran, hubungan mereka goyah. Negara-negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, menuduh Iran berusaha mengekspor revolusinya (Rizwan Naseer: 2012). Sebenarnya, banyak penyebab mengapa kedua negara besar di Timur Tengah dan produsen minyak itu selalu bersaing, bahkan bersitegang. Keduanya berbeda, baik secara agama (Sunni versus Syiah), rasial (Arab dan Persia), historis, dan budaya (Ken Koyama: 2016). Tumbangnya Saddam Hussein (2003) telah menjadi awal terbangunnya aliansi Iran dan Irak yang oleh Arab Saudi dipandang sebagai penghinaan (Fatima Raza: 2016) sekaligus ancaman. Setelah Revolusi Musim Semi Arab, hubungan keduanya makin kusam. Persaingan keduanya terlihat jelas dalam krisis di Suriah (Arab Saudi mendukung kelompok anti-Bashar al-Assad; sebaliknya Iran mendukung rezim Bashar al-Assad). Keduanya mendukung kelompok yang berbeda di Suriah: Iran antara lain mendukung Hezbollah, sementara Arab Saudi mendukung sejumlah milisi jihad Salafi, antara lain yang beraliansi dengan Jabhat Fateh al-Sham (sebelumnya bernama Al-Nusra), yang berafiliasi dengan Al Qaeda. Iran mengirim anggota Korps Garda Republik ke Suriah, sementara Arab Saudi mengirim senjata dan amunisi kepada kelompok-kelompok pemberontak (Helia Ighani: 2016).Yang terakhir, dalam perang saudara di Yaman, keduanya berseberangan posisi. Arab Saudi memerangi Houthi yang diyakini mendapat dukungan Iran. Riyadh beranggapan bahwa perang di Yaman sebagai usaha Teheran untuk mempertahankan hegemoni Syiah di kawasan itu. Hal ini yang antara lain melatari keputusan Arab Saudi mengeksekusi Al-Nimr yang semakin memperburuk hubungan.Pada dasarnya, keduanya bersaing untuk menjadi nomor satu di Timur Tengah. Di bidang ekonomi, keduanya juga bersaing, misalnya dalam pasar minyak internasional setelah tercapai kesepakatan nuklir Iran. Memburuknya hubungan keduanya sangat memengaruhi stabilitas Timur Tengah. Dan, "kesalahan" Qatar lewat pernyataannya (sekalipun disebut sebagai fake statement) yang menyebut Iran sebagai kekuatan terbesar Islam, sekali lagi "melukai" Arab Saudi. Arab Saudi dan sejumlah negara Arab lainnya segera memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar karena berkeyakinan Iran berada di belakang Qatar. Persaingan antara keduanya-Arab Saudi dan Iran-dalam segala bidang akan menjadi sumber ketegangan dan konflik di Timur Tengah. Kini, hal itu (akan) terlihat dalam krisis diplomatik di Qatar. (Bersambung)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000