Tahun 2013 merupakan tahun menakutkan bagi beberapa negara berkembang. Ketakutan itu di antaranya mewujud dalam rencana kenaikan suku bunga yang didengungkan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat Ben Bernanke. Rencana itu memenatkan para pejabat bank sentral negara berkembang. Terjadi pelarian modal besar-besaran yang membuat kurs mata uang merosot dan harga-harga saham berjatuhan.
Pelarian modal ini disebut sebagai taper tantrum. Ini julukan bagi pelarian modal yang sangat aneh. Pelarian modal dari negara-negara berkembang didasari pemikiran bahwa perekonomian AS membaik karena itu keuntungan investasi akan lebih menarik. Pelarian ini disebut taper tantrum juga karena terjadi jauh sebelum kenaikan suku bunga dilakukan, yakni pada 16 Desember 2015.
Korban utama saat itu adalah Indonesia, Meksiko, Malaysia, Afrika Selatan, Turki, Rusia, Brasil, dan China. Negara-negara kemasukan modal asing besar-besaran semenjak krisis besar ekonomi melanda AS di tahun 2008 dan zona euro di tahun 2009. Namun, pengumuman Bernanke telah membalikkan arus modal yang sangat mengkhawatirkan saat itu.
Muncul kritikan besar bagi AS, termasuk dalam pertemuan G-20, di mana AS dituduh tidak bertanggung jawab akan efek negatif kebijakannya atas negara lain. Menteri Keuangan AS saat itu, Jack Lew, sempat berang dan mengatakan, ”Uruslah diri sendiri dan jangan menyalahkan pihak lain.”
AS memang pantas dipersalahkan karena telah menyebabkan pasar bertindak liar bahkan masuk kategori brutal di dunia pasar uang dan pasar modal. Namun, aksi saling menyalahkan pun tidak lagi bisa memperbaiki keadaan.
Ulah para spekulan
Logiskah pelarian modal saat itu hanya karena ancang-ancang kenaikan suku bunga AS? Benarkah keuntungan investasi di AS lebih besar ketimbang di negara berkembang ketika itu? Tidak. Perekonomian AS tidak tumbuh tinggi dan keuntungan investasi tetap ada di negara berkembang.
Lalu mengapa terjadi pelarian modal besar-besaran? Ini bukan lagi didasarkan pada logika ekonomi murni. ”Ini terjadi karena ekspektasi pasar didominasi para pedagang yang kerjanya berspekulasi di pasar yang bergejolak ditambah aksi pengamat Bank Sentral AS yang melakukan tindakan tak menyenangkan,” demikian dituliskan Anatole Kaletksy, seorang ekonomi yang pernah bekerja di The Economist, The Financial Times, dan kemudian berkarya di kantor berita Reuters pada 19 September 2013.
Faktor tambahannya adalah situasi pasar uang dan pasar modal global di tahun 2013 masih rentan pada gejolak. Ini diperburuk dengan situasi pasar yang sudah sekian tahun sarat keberadaan pelaku keuangan liar dan tak dikendalikan lewat peraturan.
Meski demikian, derajat kekacauan berbeda antara satu negara dengan negara yang lain. Untuk menjelaskan ini, para peneliti dari Dana Moneter Internasional (IMF) menuliskan mengapa derajat kekacauan itu berbeda. Ini dituliskan dalam laporan IMF pada September 2014 oleh Ratna Sahay, Vivek Arora, Thanos Arvanitis, Hamid Faruqee, Papa N’Diaye, dan Tommaso Mancini-Griffoli.
Ada efek spekulatif tetapi tingkat serangan berbeda. Disimpulkan oleh staf IMF bahwa ini tergantung, ”Fundamental ekonomi. Fondasi ekonomi yang lebih baik bisa meredam reaksi besar. (Namun) negara yang memiliki defisit neraca transaksi berjalan, inflasi tinggi, pertumbuhan lemah, dan cadangan devisa relatif rendah rentan terhadap reaksi besar pasar.” Malaysia dan Indonesia termasuk yang paling parah terkena dampak pada saat itu.
Intinya di dunia keuangan yang sarat aksi spekulatif, fondasi ekonomi makro yang kukuh menjadi keharusan. Inilah yang selalu menjadi kelengahan Indonesia, tidak terlalu peduli dengan fondasi makro.
Relatif aman
Hal menarik, kini efek taper tantrum semakin meredup. Keputusan Bank Sentral AS untuk menaikkan suku bunga inti (prime rate) pada 14 Juni 2017 menjadi 1,25 persen tidak melahirkan gejolak seperti di tahun 2013. Harga-harga saham di Asia malah menguat dan kurs tidak bergejolak. Efek taper tantrum tidak muncul.
Hal ini bisa dijelaskan. Menurut Gubernur Bank Sentral Divisi wilayah St Louis, James Bullard, kepada Bloomberg, ”Ada komunikasi yang baik antara bank sentral dan pasar.” Komunikasi ini memberi kejelasan pada pasar.
Gubernur Bank Sentral Janet Yellen misalnya mengatakan, walau terjadi pengetatan uang beredar, dalam hal perekonomian berkembang memburuk, Bank Sentral AS siap memasok kembali uang beredar ke pasar.
Penjelasan lain mengapa efek taper tantrum tidak muncul adalah aksi sejumlah bank sentral di Asia yang menyiapkan diri dengan memperkuat cadangan devisa. Hal ini memberi efek psikologi bagi pasar bahwa sejumlah negara memiliki senjata untuk mengatasi gejolak.
Penjelasan lain adalah negara-negara berkembang akhir-akhir ini terbukti menjadi lokasi paling menguntungkan bagi investasi di seluruh dunia. Pada 19 Juni lalu, Bloomberg menuliskan negara-negara berkembang seperti Brasil, Rusia, India, dan China telah kemasukan arus modal sehingga turut mendorong indeks saham ke level tertinggi dalam dua tahun terakhir.
Hal ini didorong prediksi bahwa perekonomian global mulai membaik dan ekspor negara-negara berkembang pulih. Hal ini turut menaikkan cadangan devisa, termasuk Indonesia. Deregulasi di India, pemulihan ekonomi Brasil, stabilisasi ekspor minyak Rusia, dan penguatan kurs yuan (China) mendorong arus masuk modal asing. ”Perbaikan fundamental perekonomiandan tingkat keuntungan tinggi membuat pasar negara berkembang menarik kembali,” kata Jens Nystedt, manajer investasi Morgan Stanley Investment Management yang mengelola dana 417 miliar dollar AS.
Hal serupa dikatakan oleh Mark Mobius, pimpinan eksekutif Templeton Emerging Markets Group. Mobius menegaskan Brasil, China, India, dan Rusia menikmati manfaat positif arus modal masuk.
Mantan ekonom Goldman Sachs, Jim O’Neill, juga menyatakan pasar negara berkembang jelas merupakan pasar yang paling menggiurkan.
Indonesia tentu termasuk sebagai negara yang dipandang prospektif karena melakukan sejumlah perbaikan dalam keuangan negara dan neraca transaksi berjalan. Hal inilah antara lain yang membuat negara berkembang kali ini tidak mengalami efek taper tantrum. (Reuters/AP/AFP)