Salah kalkulasi politik adalah kalimat yang paling pas untuk Perdana Menteri Inggris Theresa May. Mungkin terlalu percaya diri menang dalam pemilu sela parlemen pada 8 Juni lalu. Nyatanya, Partai Konservatif hanya meraih 318 kursi, kurang delapan kursi untuk meraih mayoritas di Parlemen Inggris.
Konsekuensi kekurangan kursi membuat PM Inggris tidak mudah mengeksekusi kebijakan. Demikian juga soal strategi perundingan Brexit, julukan Inggris keluar dari Uni Eropa (UE), posisi PM May makin tak karuan. Sikap PM May tergolong keras terhadap UE dan menjadi bumerang.
Jauh sebelum perundingan resmi Brexit, PM May sudah memegang sikap keras. Dia ingin Inggris putus hubungan dengan UE secara tegas (hard Brexit). PM May, misalnya, tidak ingin Inggris menjadi bagian dari jurisdiksi European Court of Justice serta ingin mengontrol ketat perbatasan dengan UE.
Sikap keras Inggris dan PM May tergambar dari pernyataan-pernyataan Menteri Inggris untuk Perundingan Brexit David Davis. Negara ini lewat Davis telah menyerang UE, tetapi ini gambaran sikap PM May. Di bawah PM May, sikap diplomatis Inggris terhadap UE yang biasanya kalem malah di luar kontrol. Keras, tegas, bahkan agak terkesan menyepelekan.
PM May, misalnya, pada 2 Oktober pernah mengatakan orang yang bersikap pro-UE tidak memperlihatkan kecerdasan Inggris (The Independent). Dia juga mencanangkan ”hard Brexit” dan kalimat-kalimat tegas. PM May ingin menghapus semua akses Inggris ke UE. Jika, misalnya, ada sengketa dagang dengan UE, Inggris lebih memilih perundingan lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Pebisnis Inggris menolak ”hard Brexit” karena memberi pukulan besar bagi bisnis Inggris. Pemimpin Rolls-Royce Warren East mengingatkan, produk-produk perusahaannya memerlukan kelancaran ekspor-impor.
Mendapatkan perlawanan
PM May tidak mau memilih ”soft Brexit”. Pendekatan ini seperti dituliskan di harian Inggris, The Independent, edisi 3 Oktober 2016 akan membuat hubungan Inggris-UE sedekat mungkin secara ekonomi. Dengan ”soft Brexit”, walau Inggris tidak lagi berada di dalam UE, tetapi bisa mempertahankan akses bebas ke UE.
Dengan ”soft Brexit”, ekspor-impor Inggris ke dan dari UE berjalan dengan pengenaan tarif. Lintas jasa keuangan tetap berlangsung dan Inggris tetap berada di dalam kepabeanan UE tanpa harus menjalani pemeriksaan barang ekspor-impor.
Norwegia, Eslandia, dan Liechtenstein bukan anggota UE, tetapi memiliki akses pasar ke UE. Namun, negara-negara ini harus membayar untuk anggaran UE dan menerima pergerakan bebas barang, warga, aliran jasa, modal. Negara-negara ini menerima jurisdiksi hukum UE. Swiss juga memiliki hubungan serupa dengan UE.
PM May sangat unik. Dia menepis ”soft Brexit”. Ini dibalas dengan perlawanan keras dari UE. Presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan sungguh ingin bersikap keras terhadap Inggris dan menilai Brexit adalah tindakan kriminal. Eropa meminta Inggris harus membayar ”uang cerai”.
UE meminta Inggris harus menemboki tegas perbatasan Irlandia (anggota UE) dengan Irlandia Utara (bagian Inggris). Perdana Menteri Irlandia Leo Varadkar mengatakan, tidak boleh ada perbatasan ketat antara Republik Irlandia dan Irlandia Utara, yang turut berperan meredakan pemberontakan Irlandia Utara terhadap Ingris.
Politisi Inggris gusar
PM May menghadapi sinisme dan sikap tegas dari UE. Di dalam negeri, PM May juga menjadi bulan-bulanan. Mantan PM David Cameron dan mantan PM John Major menolak pendekatan ”hard Brexit”. Ketua Partai Buruh Inggris Jeremy Corbyn yang pro-UE menyudutkan PM May dengan memintanya mundur dan menilai PM tidak memiliki mandat kuat untuk menjalankan perundingan soal Brexit.
Lord Michael Heseltine, politisi veteran Inggris yang juga mantan Wakil PM Inggris, menyebutkan, negaranya telah dipermalukan. Dia tidak menyudutkan PM May secara langsung, tetapi mengatakan pendekatan ”hard Brexit” telah membuat Inggris kalah muka. Di dalam negeri, ”Kabinet terpecah, negara terpecah,” kata Heseltine.
Rabu (21/6), Ratu Elizabeth II menyampaikan pidato di hadapan Parlemen Inggris. Ratu memakai gaun berwarna serupa dengan bendera UE, dengan kepala berbalutkan topi warna biru, dibubuhi bintang-bintang berwarna serupa dengan bendera UE.
”Pemerintahan saya akan mengupayakan pemisahan Inggris dari UE dengan cara sebaik mungkin,” kata Ratu.
Ini jelas merupakan simbol bahwa Kerajaan Inggris mengisyaratkan negosiasi yang bersahabat dengan UE.
Ucapan ini merupakan pukulan telak bagi PM May. ”… Pidato Ratu telah mengonfirmasikan kejatuhan pamornya (PM May),” demikian BBC menuliskan di situsnya, Rabu (21/6).
PM May berjanji akan lebih banyak mendengar publik dan menyerukan persatuan. Apakah PM May akan didengar? (AFP/AP/REUTERS)