logo Kompas.id
InternasionalCermati Utang Luar Negeri
Iklan

Cermati Utang Luar Negeri

Oleh
Simon Saragih
· 4 menit baca

Saat ini pasar valuta asing terlihat tenang. Namun, bukti empiris menunjukkan sering ada gerakan mendadak di pasar valuta asing. Jika tidak terkendali, efeknya sangat dahsyat. Tahun 1994 termasuk masa paling terkenal untuk sejarah krisis valuta asing. Kurs peso Meksiko ambruk karena Bank Sentral AS menaikkan suku bunga 2,5 persen. Mendadak investor menarik dana dari Meksiko.Kurs peso anjlok dari 3.500 menjadi sekitar 9.000 peso per dollar AS di akhir 1995. Pelarian modal mengeringkan dana asing dan mengacaukan produksi. Pertumbuhan ekonomi Meksiko tahun 1995 negatif 6,2 persen dari pertumbuhan 4,8 persen pada 1992. Angka pengangguran pun naik.Asia kemudian terjebak krisis moneter 1997. Kurs mata uang bertumbangan, kecuali renminbi China. Terjadi pelarian modal besar-besaran dan banyak perusahaan bangkrut hingga tercatat 10.400 kasus bunuh diri di Jepang, Hongkong, dan Korea Selatan (The Economist, 1 Juli 2017). Museum Siam di Bangkok memajang kisah memilukan akibat krisis ini.Di dalam negeri, Bank Indonesia terpaksa mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sama seperti Meksiko yang ditolong Amerika Serikat, Indonesia pun mendapatkan pertolongan dari Dana Moneter Internasional (IMF). Thailand, pemicu krisis Asia, juga meminta perlindungan IMF. Krisis rubel Rusia lalu menyusul pada 1998 dengan efek yang juga dahsyat. "Dosa asal"Mengapa muncul krisis seperti itu? Dua ekonom AS, Barry Eichengreen dan Ricardo Hausmann, melakukan penelitian. Mereka prihatin akan kesengsaraan puluhan juta hingga ratusan juta orang karena gejolak kurs. Dari penelitian pada 1999 muncullah istilah dosa asal (original sin). Ini merujuk ketidakmampuan negara berkembang meminjam ke luar negeri dengan denominasi mata uang mereka sendiri. "Ini persoalan besar dan hampir semua negara berkembang tertakdir meminjam dalam denominasi mata uang asing," kata Hausmann, Guru Besar Ekonomi Harvard University, AS, (The Financial Times, 1 Februari 2013).Dalam hal terjadinya pelarian modal, "Langkah bank sentral dengan menyesuaikan kurs sering tidak berhasil," kata Profesor Eichengreen, pengajar ilmu ekonomi politik di University of California, Berkeley, AS. Dua ekonom ini menyarankan agar negara berkembang mengurangi utang dalam denominasi mata uang asing. IMF pun menyarankan hal serupa. Kemudian ada peningkatan besar utang dalam denominasi mata uang sendiri berdasarkan hasil penelitian Oxford Economics. Asia dan Amerika Latin belajar dari kisah pahit gejolak kurs. Pada awal 2017 China semakin gencar membatasi pinjaman luar negeri oleh perusahaan domestik dalam denominasi dollar AS. Hal ini diawasi ketat Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional seperti diberitakan Bloomberg, 26 Juni. Hanya perusahaan kuat yang bebas mengajukan pinjaman luar negeri.Hyun-song Shin dari The Bank for International Settlements (BIS) salah satu yang kuat menekankan hal ini untuk mengurangi utang dalam denominasi mata uang asing. Akan tetapi, ada perkembangan selanjutnya. Setelah tahun 2010, India, Turki, Meksiko, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Afrika Selatan, Brasil, dan beberapa negara berkembang lainnya sudah memperbanyak komposisi utang dalam denominasi mata uang sendiri. Namun, kelompok ini tetap mengalami gejolak kurs dan pelarian modal.Solusi menghadapi kasus seperti ini adalah dengan mengikuti saran IMF lebih ketat, yakni agar negara-negara berkembang menekankan investor lokal sebagai pembeli utama surat utang. Nyatanya, banyak pihak asing yang membeli surat utang dalam denominasi mata uang lokal. Dengan demikian, dalam hal terjadinya krisis kurs, tetap ada potensi kekacauan. Investor asing sangat mudah lari.Intinya adalah pengurangan utang dalam denominasi mata uang asing dan menekankan investor lokal untuk membeli surat utang dalam denominasi mata uang lokal.Situasi moneter riskanSaran ini semakin urgen sekarang. Ada bahaya besar yang mengintai negara-negara berkembang. Situasi moneter di negara-negara maju tidak sehat. Terlalu banyak uang beredar dan hendak dikurangi perlahan. Ini terbukti pada 2013. Sejumlah negara berkembang kerepotan saat Bank Sentral AS berencana mengurangi peredaran uang. Ke depan, kebijakan bank-bank sentral Barat amat riskan memicu pelarian modal. Normalisasi kebijakan moneter Barat tak bisa dianggap enteng. Daya rusaknya bisa sangat dahsyat bagi gejolak. Namun, hal ini tidak cukup. Peningkatan cadangan devisa dan pengelolaan ekonomi makro yang ketat menjadi keharusan untuk mencegah badai ekonomi akibat gejolak eksternal. (REUTERS/AP/AFP/MON)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000