Benjamin Strong menjabat Presiden Bank Sentral New York pada dekade 1920-an. Dia menurunkan suku bunga sedemikian rendah sehingga para spekulan menyedot banyak uang dan memicu kenaikan pesat indeks saham di bursa AS yang berakhir dengan crash pada tahun 1929.
Demikian dituliskan Scott Nations, Presiden NationsShares, sebuah perusahaan keuangan dan penulis buku A History of the United States in Five Crashes di situs MarketWatch, edisi Minggu (2/7). Scott Nations menuliskan hal ini setelah mengamati keadaan yang mulai liar di sektor keuangan AS yang mengarah pada kekacauan babak berikutnya.
Data menunjukkan indeks di bursa saham New York ambruk dari ketinggian 5.380,15 poin pada Agustus 1929 menjadi 770.91 poin pada Juli 1932. Ini kejatuhan di bursa saham yang sangat terkenal dalam sejarah perekonomian dan menyebabkan munculnya istilah malaise. Kejatuhan parah terjadi pada hari Selasa, 29 Oktober 1929, sehingga muncul istilah terkenal dalam dunia bursa saham Black Tuesday.
Menjelang krisis ekonomi buruk berikutnya di AS pada tahun 2008, Gubernur Bank Sentral AS Alan Greenspan (menjabat 1987-2006) juga disebut telah menciptakan conundrum. Istilah ini merujuk pada situasi yang membuat suku bunga menurun hingga ke titik rendah.
Greenspan memberi alasan, pematokan suku bunga rendah ini dilakukan untuk mendorong permintaan yang begitu lemah. Suku bunga rendah diharapkan akan mendorong permintaan. Akan tetapi, hal ini melahirkan situasi pelik kondisi moneter dan melahirkan krisis dengan anjloknya indeks saham dari 16.312 pada Juli 2007 ke level terendah 8.143 pada Maret 2009.
Greenspan memperburuk keadaan dengan prinsip deregulasi. Greenspan adalah seorang ekonom yang tidak suka peraturan sektor keuangan, padahal ini justru menjadi tugas bak sentral. Kebijakan moneter ”uang murah” dan deregulasi sektor keuangan jusru menjadi penyebab krisis. Seperti ditulis majalah Time pada Oktober 2008, kemudian Greenspan mengakui bahwa dia salah dengan menganggap perusahaan akan cukup dewasa mengatur diri sendiri, tetapi ternyata tidak.
Di bawah Presiden AS Donald Trump, tampaknya regulasi yang sudah mulai diatur ketat pada era Presiden Obama hendak diperlonggar lagi. Kepada televisi Bloomberg pada April 2017, Greenspan kembali menegaskan hal ini tidak tepat. Dia tidak setuju dengan pelonggaran peraturan di sektor keuangan.
Hal ini, peraturan di sektor keuangan, juga sudah diingatkan oleh Gubernur Bank Sentral AS Janet Yelllen. Dalam dengar pendapat dengan Senat AS pada Februari 2017, Yellen mengatakan, regulasi tidak terbukti menghambat bisnis di sektor keungan dan justru membuat sektor keuangan semakin baik.
Hal ini tampaknya tidak berterima pada pemerintahan Trump yang kelihatannya hendak melanjutkan rencana untuk memberangus peraturan keuangan. Partai Republik yang antiperaturan mendukung rencana Trump. ”Peraturan yang minim akan menjadi kesempatan untuk munculnya kembali era buruk tentang sikap bebas dan penimbunan utang yang luar biasa,” demikian ditulis di harian The New York Times, 30 Juni.
Menyadari kesalahan masa lalu, bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), mencoba mengatasinya dengan segera menaikkan suku bunga. Di bawah Yellen, suku bunga inti (prime rate) telah dinaikkan. Belum kembali ke level normal, tetapi sudah mulai memulihkan kebijakan moneter. Pendahulu Yellen, Ben Bernanke, telah memulai langkah ini pada 2013 karena sadar akan bahaya uang murah.
Bisa diduga tindakan menaikkan suku bunga merupakan upaya dari The Fed untuk mencoba mencegah potensi buruk dari sisinya, yakni dengan mengurangi keberadaan dana-dana murah. Hal ini tak pelak lagi bertujuan untuk mencegah aliran uang tujuan spekulatif di pasar. Belum cukup matang kondisi untuk menaikkan suku bunga, tetapi The Fed sudah menaikkan suku bunga lagi.
Tentu hal ini selalu memunculkan perlawanan dari pelaku pasar. Mantan Menkeu AS Lawrence Summers adalah salah satu yang selalu menentang kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS.
Summer merupakan salah satu dari kelompok pemain di bursa. Namun, sudah lazim diketahui, dana-dana murah telah menjadi lahan keuntungan bagi para spekulan untuk bermain di pasar modal dan pasar uang. Akan tetapi, aksi spekulan seperti ini selalu berakhir dengan krisis parah, lambat atau cepat. (REUTERS/AP/AFP)