logo Kompas.id
InternasionalMenunggu AS Normal
Iklan

Menunggu AS Normal

Oleh
· 3 menit baca

Menciptakan situasi kondusif untuk perekonomian lewat kebijakan yang tidak saling bertentangan. Itulah salah satu misi Jerman sebagai tuan rumah pertemuan G-20 di Hamburg, 7-8 Juli. Itu juga misi pendirian G-20 pada 1999. Namun, hal itu tampaknya sulit terjadi kali ini. Presiden AS Donald Trump malah terus sibuk lewat Twitter menyerang Jerman dan China. Suasana pertemuan G-20 kali ini pun pasti tidak menyenangkan. Eropa, yang tidak suka dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, malah disambut khusus oleh Trump. Inilah masalahnya sekarang. G-20 beranggotakan Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris, AS, dan satu lagi Uni Eropa (UE). G-20 menghasilkan 80 persen dari total produksi domestik bruto (PDB) dunia. Besaran G-20 sangat menentukan bagi dunia karena itu kolaborasi mutlak diperlukan. G-20 memerlukan koordinasi kuat soal perdagangan internasional. Kanselir Jerman Angela Merkel, sebagai tuan rumah, menyebutkan lagi bahwa resesi besar dekade 1930-an menjadi bukti bahwa proteksionisme memperdalam resesi.Namun, Trump masih bertahan. Dia tetap mengutamakan AS dengan menyerang negara lain. Lewat Twitter, Trump menyalahkan Jerman yang unggul daya saing, tetapi disebut merugikan AS. Juga ada tuduhan terbaru pada China terkait isu Korea Utara. Di bawah Trump, cara berdiplomasi AS yang lebih halus di G-20 telah hilang. Trump kembali menyatakan, kesepakatan dagang internasional adalah malapetaka.Karena itu, tidak mungkin G-20 membahas kerja sama lebih luas atau melakukan sumbang saran. Padahal, misalnya, pembangkitan permintaan di AS lewat pencegahan ketimpangan domestiknya atau penguatan daya beli warga tertinggal di AS adalah salah satu resep kebangkitan ekonomi AS dan dunia.Juga mustahil menyarankan agar defisit anggaran Pemerintah AS jangan naik, demikian juga utangnya. Kenaikan defisit dan utang memengaruhi stabilitas kurs dollar AS, alat utama transaksi internasional. Begitu banyak isu ekonomi global yang butuh perbaikan bersama agar tidak memicu kebangkrutan perbankan di zona Eropa yang sudah terlihat lagi di Spanyol dan Italia.Karena itu, tidak mengherankan jika Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde mengingatkan, "Negara-negara perlu mencegah risiko, menciptakan percepatan pertumbuhan, memperkuat kerja sama internasional. Tidak ada negara yang terisolasi atau seperti sebuah pulau. Kebijakan satu negara beresonansi terhadap negara lain. Ini bisa kuat dan bertahan jika ada koordinasi." Hardikan Merkel tidak kalah tegas. Dia kukuh menegaskan, koordinasi amat dibutuhkan. Ucapan Merkel ini merujuk pada kerja sama atau kolaborasi, bukan dominasi oleh seorang atau satu negara saja. "Siapa pun yang mengira bahwa persoalan dunia bisa diatasi dengan cara mengisolasi diri serta menekankan proteksionisme, dia melakukan kesalahan parah." Ucapan Merkel ini jelas merujuk pada Trump.Trump bisa ditinggalPosisi AS dalam G-20 kali ini amat berbeda dengan sebelumnya. Menurut pengalaman Merkel, yang sudah berkuasa sejak 2005, kelompok G-20 sudah menyaksikan kerja sama yang relatif baik. Ini tidak bisa diharapkan dari AS di bawah Trump."Kita akan menjalani diskusi yang sulit karena negara-negara anggota G-20 berada dalam perkembangan berbeda dan ide yang berbeda," kata Merkel.Bagaimana mengatasi hal ini? Trump berpotensi ditinggal hingga menunggu AS relatif normal di bawah kepemimpinan orang lain kelak. Para pemimpin G-20 pun memperlihatkan gejala itu. Ada kesan G-20 akan meninggalkan AS hingga negara adidaya ini tersadar. Di samping pertemuan bersama, negara-negara anggota G-20 sibuk menorehkan kerja sama bilateral. Dalam kesempatan ini, ada kesepakatan perdagangan bebas antara Jerman dan China. Merkel dan Presiden Xi Jinping terlihat mesra. Juga ada penekanan kerja sama ekonomi Jepang dan Jerman serta UE. "Kesepakatan ini merupakan sugesti, mereka telah menjawab retorika Trump," kata Chad Bown, peneliti di Peterson Institute for International Economics. "Negara-negara ini sedang mencari jalur alternatif sebagai jawaban atas apa yang terjadi dengan pemerintahan Trump." (REUTERS/AFP/AP/SIMON SARAGIH)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000