Turki adalah cerita lama. Tetapi, Turki juga cerita baru. Ia bagian dari masa lalu, dan juga bagian dari masa kini. Masa kini tidak pernah bisa dipisahkan dari masa lalu. Masa lalu selalu menjadi benih bagi masa depan. Benih itu ditabur di masa lalu, dan tumbuh, berkembang, serta berbuah di masa kini. Meskipun, tidak jarang ada, bahkan banyak, benih yang jatuh di tanah bebatuan dan tidak tumbuh. Kalaupun tumbuh, tidak akan tahan lama dan akan segera mati oleh terik panas matahari; juga oleh karena tidak ada cukup tersedia tanah yang akan menjadi tempat akar-akarnya hidup menyerap sumber kehidupan.
Pergilah ke Istanbul untuk melihat masa lalu, tetapi sekaligus juga masa kini, dan bahkan mungkin masa depan. Di Istanbul-yang dahulu bernama Konstantinopel karena didirikan oleh Kaisar Konstantin, penguasa Imperium Romanum Timur, Kekaisaran Romawi Timur-ada bukti-bukti nyata perjumpaan antara Timur dan Barat.
Di kota inilah Imperium Romanum Timur berpusat dan menjadi besar setelah runtuhnya Imperium Romanum Barat yang berpusat di Roma. Istanbul menjadi saksi sejarah bertemunya peradaban Kristiani (Byzantium, kemudian Konstantinopel) dengan Muslim (Ottoman atau Utsmaniyah). Coba lihat Hagia Sophia dengan kubahnya yang begitu megah, karya arsitektur Byzantium, dengan empat menaranya yang menjulang ke langit, tambahan di zaman Ottoman. Jangan lupa, masuklah ke Hagia Sophia-dibangun tahun 537 hingga 1453-dan di dalam sana kita akan dibawa ke masa lalu yang agung.
Di Istanbul, masa lalu selalu bercerita. Bukan hanya Hagia Sophia yang bercerita. Ada juga Masjid Biru-dibangun 1609 hingga 1616-yang berdiri megah persis di seberang Hagia Sophia. Istana Topkapi, istana para Sultan Ottoman selama sekitar 400 tahun (1465-1856), dan masih banyak lagi. Istanbul seperti Roma, Kairo, atau Athena, di sana masa lalu menceritakan dirinya. Namun, kelebihan Istanbul adalah perjumpaan antara masa lalu Timur dan Barat.
* * *
Sekarang, memang, dunia telah menjadi satu; disatukan oleh teknologi komunikasi, disatukan oleh kepentingan ekonomi, kepentingan pasar, dan politik. Kishore Mahbubani dalam Asia Hemisfer Baru Dunia (2011) menulis, "Dulu bangkitnya Barat mengubah dunia. Bangkitnya Asia sekarang akan membawa perubahan signifikan yang serupa. Kebangkitan Asia akan berbuah baik bagi dunia."
Cerita tentang kebangkitan Asia ini sudah lama didengungkan. Dan, cerita itu tentang kebangkitan dua kekuatan besar di Timur, China dan India. Kedua raksasa dari Timur ini berkembang demikian cepat dan hebat meski tak berarti tanpa tantangan dan hambatan. Namun, toh, kedua raksasa Asia abad ke-21 ini menandai pergeseran kekuatan global dari Barat ke Timur.
Di belahan bumi lain, Turki menjadi model lain dari sebuah negara yang siap memasuki zaman baru. Ceritanya bermula dari munculnya Recep Tayyip Erdogan dengan Partai Pembangunan dan Keadilan (Adalet ve Kalkiinma Partisi, secara resmi disingkat AK Parti atau AKP; didirikan pada 14 Agustus 2001) di panggung politik Turki. Pada tahun 2002, AKP memenangi pemilu. Dan, Turki di bawah Erdogan dengan AKP-nya, dengan reformasi liberalnya, telah mendorong pertumbuhan ekonominya yang pesat. Di zaman Erdogan pula, militer yang sebelumnya sangat berperan di Republik Turki yang didirikan Mustapha Kemal Ataturk dipinggirkan.
Kisah sukses ada di sekeliling Erdogan. Orang di Barat dan negara-negara Muslim menyebut Turki sebagai contoh cemerlang keserasian, kecocokan antara demokrasi dan Islam. Erdogan, yang semula adalah perdana menteri dan sekarang presiden, dipuji sebagai reformis yang membuat negerinya lebih bebas, lebih kaya, dan lebih damai. (Mustafa Akyol dalam The New York Times, Mei 2016) Orang pada masa itu mulai bicara tentang "Model Turki", mengacu pada apa yang dilakukan Erdogan dengan AKP-nya di Turki.
Namun, sosiolog Universitas California, Berkeley, Cihan Tugal, menyatakan, "Model Turki" sudah berlalu. AKP menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Sementara Erdogan ingin melihat dirinya sendiri dalam kerangka sejarah, ingin dikenang tak hanya karena mengembangkan Turki, tetapi juga mentransformasi Turki. Menjadi teknokrat yang baik, bahkan terbaik pun, dirasa tidak cukup. Visi Erdogan tidak memberi ruang bagi orang lain.
Bahkan, Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations menyatakan, "Turki lebih sepenuhnya menolak warisan Ataturk dibandingkan Rusia menolak warisan Lenin." Padahal, Huntington menulis hal itu pada tahun 1996, ketika Erdogan menjadi Wali Kota Istanbul. Dan, sekarang, banyak yang menyatakan, telah menjadi kenyataan.
* * *
Mustafa Akyol pada tahun 2016 menulis, "Sekitar lima tahun lalu, setiap orang membicarakan tentang \'Model Turki\'.... Hari-hari ini, saya rasa telah menjadi nostalgia dan penyesalan." Mengapa? Setelah AKP meraih kemenangan besar dalam referendum konstitusi (2010) dan pemilu 2011-dan menaklukkan militer-retorika liberal partai memudar dan konservatisme sosial menjadi yang utama.
Lalu, ketika AKP (Erdogan) merasakan ada yang menentang kekuasaannya (2013) saat pecah demonstrasi rakyat di Gezi Park (Istanbul) dan meluas ke 80 kota lain, dan disusul investigasi atas korupsi yang melibatkan banyak petinggi (empat menteri mundur), partai yang berkuasa mengambil cara otoritarian untuk menghadapinya. Lawan-lawan politiknya disapu habis (yang terakhir kasus Fethullah Gulen, yang berujung pada penangkapan lebih dari 200.000 orang).
Itulah sebabnya, kaum sekularis (warisan Ataturk) menyebut pada akhirnya AKP kelihatan "warna aslinya". Karena itu, Turki dianggap gagal menjadi model dan perhatian kini beralih ke Tunisia, di mana Partai Ennahda tidak hanya terbukti populer, tetapi juga berhasil menjadi pendamai, pemersatu bangsa dan negara. Akhirnya harus disadari bahwa masa lalu memiliki keagungannya sendiri, tetapi tak bisa kembali.