Nelson Mandela
Pulau Robben atau Robbeneiland "mengapung" di Table Bay, sekitar 6,9 kilometer sebelah barat pantai Bloubergstrand, Cape Town, Afrika Selatan. Pulau berbentuk oval itu, dengan panjang 3,3 kilometer (memanjang dari utara ke selatan) dan lebar 1,9 kilometer, berupa hamparan tanah datar, hanya beberapa meter dari atas permukaan laut.
Di pulau inilah Nelson Rolihlahla Mandela menjalani 18 dari 27 tahun masa hukumannya. Ia dipenjara bersama dua rekannya, Kgalema Motlanthe dan Jacob Zuma, Presiden Afrika Selatan saat ini. Sejak akhir abad ke-17, Pulau Robben digunakan sebagai tempat untuk mengisolasi para tahanan politik.
Nelson Mandela dan rekan-rekannya ditahan oleh pemerintah apartheid karena aktivitas politiknya: menentang politik apartheid. Mereka benar-benar diisolasi. Hanya diizinkan dikunjungi oleh satu orang, itu pun setiap tahun. Jadi, setiap tahun hanya ada satu orang yang mengunjunginya. Dan, hanya diperbolehkan menerima sepucuk surat setiap enam bulan sekali.
Satu-satunya jenis pekerjaan yang bisa mereka lakukan di penjara adalah memecah batu, batu besar, setiap hari. Selama bertahun-tahun. Tidak ada yang lain. Entah sudah berapa banyak batu yang dipecahkan oleh Mandela. Ia tidak pernah patah semangat, tidak pernah jemu, tidak pernah bosan, tidak pernah merasa tidak berharga karena pekerjaannya setiap hari hanya memecah batu.
Batu-batu besar telah dipecahkan dengan palunya, menjadi bongkahan-bongkahan besar; lalu dipecahkan lagi menjadi bongkahan-bongkahan kecil, dan akhirnya menjadi kepingan-kepingan kecil; bahkan ada yang menjadi butiran-butiran kecil. Batu-batu besar pecah. Tetapi, tidak demikian halnya semangat Mandela. Semangat Mandela tetap menyala. Semangat itulah yang telah menjadi kekuatan hidupnya; atau bahkan semangat itulah yang telah menghidupinya.
Kebesaran hatinya dan semangat besarnya itulah yang ia bawa keluar dari penjara ketika dibebaskan. Ia keluar penjara tidak dengan sakit hati; tidak dengan dendam; tidak dengan sumpah serapah; tidak dengan semangat untuk membalas; tidak pula dengan semangat untuk membenci, mencaci maki, atau memfitnah. Namun, Mandela keluar dari penjara dengan penuh rasa syukur. Ia keluar dari penjara dengan tetap mengusung dan menghidup-hidupi impiannya untuk melahirkan sebuah negara baru di Afrika Selatan; negara yang tidak memberlakukan diskriminasi; negara yang memperlakukan semua rakyatnya sama hak dan kewajibannya, sama di depan hukum, dan negara yang menghormati manusia sebagaimana adanya.
* * *
Mandela berhasil mendirikan negara yang diimpikannya ketika usianya sudah 72 tahun, ketika tubuhnya sudah mulai renta, tetapi semangatnya masih membara, dan hatinya masih tetap dipenuhi semangat persaudaraan dan pengampunan. Ia mewujudkan mimpinya dengan karisma yang ia miliki; dengan ketulusan yang ada dalam hatinya; dengan keberanian yang ia miliki sejak lama; dengan kejujuran yang melekat dalam jiwanya; dan dengan semangat serta antusiasmenya yang nyaris tidak pernah padam meski hampir 20 tahun di penjara.
Dan, ketika orang berteriak lantang, "Lihat, dialah pemimpin yang pantas dicontoh dan diikuti serta diteladani", Mandela tidak lantas membusungkan dada dan besar kepala. Ia tidak minta untuk ditepuk-tangani dan dipuja-puja. Ia justru mengatakan, "Saya takut untuk menjadi diri saya sendiri."
* * *
Ketika Mandela takut menjadi dirinya sendiri (apalagi menjadi orang lain), banyak orang dan pemimpin serta mereka yang merasa menjadi pemimpin menganggap dirinya pemimpin bahkan tidak pernah takut menjadi orang lain. Tidak hanya menjadi orang lain, tetapi juga merasa atau mengklaim mewakili orang lain, mengatasnamakan orang lain; seakan mewakili orang lain; berperilaku memperjuangkan kepentingan orang lain.
Banyak pemimpin yang mengidentifikasi dirinya sebagai wakil rakyat (meski sebenarnya lebih untuk hasrat kuasa bagi dirinya). Banyak pula pemimpin yang karena kemampuannya menangkap suara rakyat lalu mengolahnya dan kemudian mengidentifikasi diri sebagai suara rakyat; padahal sesungguhnya suaranya sendiri. Banyak pemimpin yang memiliki kemampuan untuk mencium suara rakyat, keinginan dan hasrat rakyat, lalu menggunakannya untuk kepentingan sendiri. Banyak pemimpin yang pandai untuk memahami keresahan dan kecemasan rakyat serta menangkap kesengsaraan rakyat, lalu memainkannya di ruang politik untuk kepentingan politiknya sendiri.
Begitulah yang terjadi di sekitar kita. Tidak aneh jadinya kalau kemudian muncul sentimen (seakan-akan) prorakyat, pro-penderitaan rakyat, pembela ketidakadilan, pembela kepentingan rakyat. Semua itu dikobarkan oleh para pemimpin yang memakai jubah pemimpin rakyat, yang sebenarnya elite politik, yang karena kefasihannya berbicara mampu menarik simpati dari rakyat. Mereka inilah kaum provokator rakyat.
Mereka itu berteriak karena pamrih. Mereka bersuara lantang karena sakit hati. Mereka berdiri di depan karena ingin balas dendam. Karena itu, kemunculannya tidak pernah menjadi harapan seperti Mandela yang menjadi harapan; harapan bagi kebebasan rakyat Afrika Selatan pada masa itu, bahkan harapan bagi dunia; dunia yang menghormati kemanusiaan.
Adalah sangat masuk akal kalau Mandela pada akhirnya menjadi besar. Ia menjadi besar karena menyerahkan seluruh dirinya tanpa minta balasan, seperti matahari yang dari pagi hingga sore hari dari zaman ke zaman memberikan seluruh kekuatannya untuk manusia dan dunia. Ia telah memberikan energi bagi tumbuh dan berkembangnya tetumbuhan dan segala makhluk di dunia, ia juga memberikan terang. Namun, matahari tidak pernah meminta balasan.
Mandela pun demikian. Ia memberikan seluruh dirinya bagi sesama, bagi kemanusiaan; bukan untuk kebesaran dan kepentingannya sendiri, tidak pula untuk ditepuk-tangani, dipuja-puja sebagai pejuang.
Di Pulau Robben, semua itu bermula. Dan di Pulau Robben, Mandela tidak tergoda meninggalkan panggilannya menyelamatkan kemanusiaan, tidak mengejar nama besar, pun pula tidak menjual diri, seperti yang banyak terjadi di zaman kini.