Peretasan Situs Kantor Berita Qatar Menjadi Polemik
Oleh
·2 menit baca
WASHINGTON, SENIN — Warta yang menyebutkan bahwa Uni Emirat Arab menjadi otak peretasan situs kantor berita Qatar, Qatary News Agency atau QNA, sebagaimana dimuat surat kabar The Washington Post, Senin (17/7), menjadi polemik di media massa. Pemerintah UEA membantah tuduhan itu dan mengaku tidak bertanggung jawab atas aksi peretasan yang melanda QNA.
Dalam peretasan itu diunggah berita bohong yang berujung pada kemarahan beberapa negara Arab. Hal itu berbuntut pada aksi boikot politik dan ekonomi disertai sejumlah tuduhan atas Qatar, khususnya tentang pendanaan aksi terorisme, awal Juni lalu. Qatar telah membantah tuduhan tersebut.
Dalam wartanya, The Washington Post menampilkan komentar dari sejumlah pejabat intelijen AS yang menyatakan ada sejumlah pejabat senior Pemerintah UEA yang mendiskusikan rencana peretasan pada 23 Mei lalu. Beberapa hari kemudian, sebuah tulisan muncul di laman QNA, menampilkan pidato Emir Qatar Sheikh Tamim Bin Hamad al-Thani.
Saat itu, Hamad al-Thani menyanjung-nyanjung Iran. Ia juga menyatakan Qatar memiliki hubungan baik dengan Israel. Pernyataan serupa ditampilkan dalam akun QNA di media sosial Twitter.
Kantor berita itu kemudian secepatnya menyatakan bahwa laman serta akun Twitter mereka telah diretas. Artikel berita itu langsung dihapus.
Akan tetapi, Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir buru-buru mengeblok media-media Qatar. Mereka juga memutus hubungan diplomatik dengan Qatar.
Bantahan pihak UEA
Pemberitaan The Washington Post tersebut langsung dibantah oleh Pemerintah UEA. Bantahan awal yang disampaikan oleh Kedutaan Besar UEA di Amerika Serikat dipertegas dengan bantahan dari Menteri Luar Negeri UEA Anwar Gargash.
Menurut dia, berita yang disampaikan The Washington Post sama sekali tidak benar. "Cerita The Washington Post hari ini yang menyatakan kami meretas kantor berita QNA tidak betul," kata Gargash kepada lembaga yang berbasis di London, Catham House.
Bahkan, menurut Gargash, pihaknya bersama Arab Saudi, Bahrain, dan Mesir tengah membicarakan kemungkinan penerapan sanksi-saksi tambahan bagi Doha. Sanksi-sanksi itu dimaksudkan untuk semakin menekan Qatar.
"Ada sejumlah sanksi tambahan yang makin keras," ucap Gargash. Ia tidak memberitahukan kapan sanksi tambahan itu bakal diterapkan dan berapa lama penerapannya atas Qatar.
"Kita akan lihat apakah di bidang keuangan atau bidang lainnya. Yang jelas masih dalam rentang hak kita sebagai negara berdaulat," tuturnya.
Pemerintah AS juga berkepentingan terhadap dinamika yang terjadi pada hubungan Qatar dengan empat negara Arab itu. Pihak AS antara lain melihat hal itu dapat mengganggu operasi AS bersama pasukan koalisi untuk menyingkirkan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Sebanyak 10.000 tentara AS yang ditempatkan di Qatar terkait dengan operasi tersebut.