Rakyat Venezuela Memilih Demokrasi
CARACAS, SENIN - Rakyat menolak rencana Presiden Nicolas Maduro untuk mengubah Konstitusi 1999. Mereka mendukung oposisi untuk mencegah pemerintahan otoriter dan tak mau militer kembali ke dunia politik. Hasil referendum simbolis ini dianggap tak valid oleh pemerintah.
Dari hasil penghitungan suara referendum simbolis oleh oposisi Venezuela, Minggu (16/7), sedikitnya 7,2 juta orang menolak rencana Maduro. Sejak satu pekan terakhir, oposisi memang mendorong masyarakat untuk datang memberikan suara ke 2.000 tempat pemungutan suara yang dibuka di sejumlah daerah di Venezuela. Pemungutan suara oleh oposisi ini dilakukan sebagai bentuk ketidakpercayaan pada pemerintahan Maduro.
Di dalam bilik TPS, para pemilih diminta menjawab tiga pertanyaan dengan jawaban "ya" atau "tidak". Tiga pertanyaan itu adalah "apakah menolak majelis konstitusi?"; "apakah menginginkan militer kembali ke dalam kongres?"; dan "apakah mendukung pembentukan pemerintahan beranggotakan pendukung dan penentang Maduro?"
Meski perolehan suara relatif besar, oposisi masih merasa tidak puas karena jumlahnya lebih kecil dibandingkan hasil pemilu legislatif 2015, yakni ketika oposisi mendapat 7,7 juta suara. Bahkan, saat Pemilihan Presiden 2013, perolehan Maduro masih lebih banyak, yakni 7,5 juta suara. Oposisi menilai penyebabnya adalah jumlah TPS yang tak memadai.
"Kami tidak mau menjadi Kuba, negara tanpa kebebasan. Sudah jelas mandat rakyat. Mereka menginginkan negara demokrasi," kata Julio Borges, pemimpin parlemen yang dikuasai oposisi.
Borges menambahkan, jika seluruh suara selesai dihitung, akan ada sekitar 7,5 juta suara di hasil akhirnya. Andaikan saja pemungutan suara itu merupakan referendum yang sah, perolehan suara sudah cukup untuk menggulingkan Maduro.
Menanggapi hasil pemungutan suara simbolis oleh oposisi, Maduro mengingatkan mereka agar tak "besar kepala" dengan hasil tersebut. Apalagi, ada pernyataan ketua Dewan Pemilihan Nasional bahwa hasil pemungutan suara simbolis tak memiliki konsekuensi hukum apa pun.
Prosesnya juga tak berlandaskan hukum atau ilegal karena tidak ada pengakuan dari Dewan Pemilihan Nasional. Selama ini, oposisi menuding dewan ini berada di balik Maduro.
Pakar Venezuela dari Tulane University, David Smilde, mengatakan, hasil "referendum" oposisi itu kemungkinan besar akan memicu aksi protes yang lebih kuat untuk menentang pemilu yang akan diselenggarakan pada 30 Juli mendatang. Pemilu ini bertujuan memilih anggota majelis konstitusi yang akan bertugas untuk mengubah konstitusi.
Maduro berulang kali menyatakan majelis konstitusi perlu dibentuk sebagai satu-satunya cara memulihkan perekonomian dan perdamaian di Venezuela. Rakyat meragukannya karena selama ini Maduro bergantung sepenuhnya pada militer demi mempertahankan kekuasaannya.
Oposisi curiga pemilihan hanya akal-akalan Maduro. Ia dicurigai sudah mengisi majelis konstitusi dengan mereka yang propemerintah sehingga Maduro akan dibiarkan memperkuat kekuasaan dengan menciptakan sistem pemerintahan seperti Kuba. Venezuela akan didominasi Partai Sosialis yang dipimpin oleh Maduro.
Melihat hasil perolehan suara, koalisi oposisi yang terdiri dari 20 kelompok sepakat menggunakan taktik baru, yakni intensif menggiatkan aksi protes di sejumlah daerah. Tujuan utamanya ialah menggulingkan Maduro.
Cara yang akan digunakan antara lain memblokade jalanan, mogok nasional, serta unjuk rasa di Istana Presiden. "Hasil perolehan suara ini menunjukkan pemerintah tidak bisa lagi menjalankan rencana sesuka mereka," papar Smilde.
Isabel Santander (67) mengaku memilih menolak Maduro sebagai bentuk protes atas ambruknya perekonomian Venezuela. "Saya memilih \'tidak\' karena hidup kami menderita. Tak ada obat-obatan, makanan, dan keamanan. Bagaimana kami bisa hidup tenang," ujarnya.
Memancing kerusuhan
Pada saat berlangsung referendum oleh oposisi, kelompok-kelompok paramiliter propemerintah dituding berusaha mengganggu dengan menyerang warga yang datang ke TPS. Tudingan muncul seusai terjadinya serangan dari kelompok pengendara sepeda motor di Gereja Our Lady of Carmen.
Xiomara Soledad Scott (61) tewas tertembak dan empat orang terluka dalam serangan itu. Dari rekaman video di media sosial, terlihat ratusan orang berlari panik keluar dari gereja ketika para penyerang menembakkan senjata api ke arah gereja itu.
Pada saat kejadian di Catia, Caracas, itu, ribuan orang sedang mengantre untuk memberikan suara. "Para penyerang berteriak meminta pastor keluar karena mau dibakar," kata Mariela Perez, warga setempat.
Maduro meminta segala bentuk tindak kekerasan segera dihentikan. Ia menuding oposisi mendalangi penyerangan itu. "Saya meminta oposisi segera kembali ke perdamaian dan menghargai konstitusi. Saya berharap oposisi duduk dan mulai berunding," ucapnya.
Belum ada tanggapan atau reaksi dari koalisi oposisi terhadap tawaran Maduro. Gejolak politik Venezuela menyebabkan 95 orang tewas sejak April lalu.
(REUTERS/AFP/AP/LUK)