WASHINGTON, SELASA - Iran dinilai oleh Pemerintah Amerika Serikat mematuhi kesepakatan nuklir. Namun, langkah Iran yang terus mengembangkan program rudal balistik dinilai telah membuat situasi regional semakin tegang. Karena itu, Washington memutuskan untuk memberikan sanksi ekonomi baru terkait aktivitas pengembangan rudal tersebut.
Pernyataan secara tertulis dari Kementerian Keuangan Amerika Serikat, Selasa (18/7), menyebutkan, saat ini mereka sedang menyasar 18 entitas dan individu yang diduga mendukung aktivitas kejahatan transnasional. Ada dua organisasi Iran yang diduga terlibat program rudal.
Pengumuman itu dilakukan satu hari setelah pemerintahan Presiden Donald Trump menyatakan Iran tunduk pada kesepakatan nuklir yang ditandatangani dua tahun lalu. Kesepakatan itu berlaku antara dua pihak, yakni Iran dan enam negara utama (AS, Perancis, China, Inggris, Rusia, dan Jerman).
Laporan mengenai kepatuhan Iran pada kesepakatan nuklir wajib diberikan oleh Pemerintah AS ke Kongres setiap 90 hari. Tenggat laporan terakhir adalah Selasa kemarin.
Dalam kesepakatan nuklir, Iran harus mengurangi produksi material yang bisa digunakan untuk membuat senjata nuklir. Imbalannya, semua sanksi terhadap Iran yang selama bertahun-tahun diterapkan dicabut. "Persyaratan (dalam kesepakatan nuklir) dipenuhi oleh Iran, berdasarkan informasi yang diperoleh AS," sebut sumber di Gedung Putih.
Laporan ini merupakan yang kedua dari Trump sejak ia menjadi presiden. Ketika kampanye, Trump mengecam Iran dan menganggap kesepakatan nuklir dengan Iran sebagai "kesepakatan terburuk sepanjang sejarah". Trump dan Menteri Luar Negeri Rex Tillerson yakin Iran sebagai "salah satu ancaman paling berbahaya bagi kepentingan AS dan stabilitas keamanan regional".
Daftar "dosa" Iran, antara lain program rudal, dukungan pada terorisme dan militan, terlibat konflik Suriah, serta mengancam perairan di Teluk. Bagi AS, kesepakatan nuklir merupakan salah satu cara mencegah Iran mengembangkan bom atom. Kesepakatan ini juga menjadi alternatif dari opsi militer.
Namun, kesepakatan nuklir tidak lantas membuat hubungan Iran dan AS menjadi baik. Konflik di Timur Tengah seperti di Suriah dan Yaman yang melibatkan Iran masih terjadi.
Banyak pihak bingung dengan sikap Trump yang berbeda-beda. Pada masa kampanye pemilihan presiden, Trump sesumbar akan bersikap lebih keras pada Iran. Namun, ia justru dua kali memberikan laporan kepada Kongres bahwa Iran "bersikap patuh".
Tak konsisten
Menanggapi sikap AS, Menlu Iran Mohammad Javad Zarif mengaku belum membicarakan kesepakatan nuklir dengan Tillerson. Ia bingung dengan "sinyal kontradiktif" dari Trump. "Sudah jelas Iran serius dengan kesepakatan nuklir itu. Kami juga yakin kesepakatan nuklir itu bisa menjadi landasan," ujarnya.
Menurut Zarif, Iran sudah memenuhi kesepakatan nuklir itu. Sebaliknya, pemerintahan Trump belum menjalankan kewajiban dengan mencabut sanksi yang harus dihapus sebagaimana diatur dalam dalam kesepakatan nuklir.