Hingga 2030, setiap tahun Asia membutuhkan dana 1,7 triliun dollar AS untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Ini diperlukan agar Asia bisa mempertahankan pertumbuhan sekaligus mampu memberantas kemiskinan. Demikian laporan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) pada 28 Februari 2017.
Laporan berjudul ”Meeting Asia’s Infrastructure Needs” ini fokus pada pembangunan pembangkit tenaga listrik, transportasi, perairan, telekomunikasi, dan sanitasi di Asia. ”Permintaan akan pasokan infrastruktur di Asia melebihi pengadaannya,” kata Presiden ADB Takehiko Nakao. Dia menambahkan, Asia membutuhkan infrastruktur baru dan perbaikan atas sarana lama agar bisa meraih pertumbuhan berkualitas sekaligus mendorong pertumbuhan.
Menurut ADB, hanya setengah dari kebutuhan dana ini yang terpenuhi oleh 25 negara di Asia, lokasi bagi 96 persen penduduk Asia. Oleh sebab itu, pihak swasta pun harus dirangsang untuk terlibat pembangunan infrastruktur. Senada dengan ini skema pendanaan dari pemerintahan semata memang tidak mampu memenuhi kebutuhan dana untuk pembangunan insfrastruktur, seperti dikatakan Zhou Xiaochuan, Gubernur Bank Sentral China, pada bulan Mei.
Pendanaan dari swasta harus turut serta melengkapi peran bank-bank pembangunan seperti Bank Dunia, Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), dan lembaga multilateral lainnya. Sumber-sumber dana inilah yang menjadi rebutan bagi negara-negara Asia, yang memang sangat minim sarana dan prasarana.
Laporan-laporan ADB juga menunjukkan Indonesia termasuk yang sangat kritis soal ketersediaan infrastruktur. Jalanan macet dan semrawut, bandar udara yang sumpek merupakan warna utama di semua daerah dengan kegiatan ekonomi relatif tinggi. Ada daerah yang tidak tersambungkan dengan baik karena ketiadaan infrastruktur.
Kiat merebut investasi
Oleh sebab itu, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana merangsang lembaga keuangan internasional untuk masuk ke satu negara untuk terlibat pembangunan infrastruktur? Untuk itu sangat menarik untuk mengetahui dari mana saja sumber-sumber pembiayaan. Pemahaman akan karakter pemberi dana penting untuk memudahkan mereka berinvestasi, termasuk di Indonesia.
Menurut harian South China Morning Post edisi 6 Juli, sebesar 60 persen dari total kebutuhan dana investasi infrastruktur di Asia pada 2016 berasal dari lembaga keuangan China. Harian ini mengutip data dari Dealogic, sebuah lembaga keuangan global. Selain perbankan swasta China, Pemerintah China telah meluncurkan pendirian AIIB pada 2016. Presiden Bank Dunia Dr Jim Yong-kim mengakui bahwa AIIB adalah sebuah preseden. Kemampuan keuangan negara China telah memungkinkan pendirian AIIB dengan niat ambisius disertai permodalan besar.
Dengan demikian jelas, sumber utama pendanaan untuk investasi di bidang infrastruktur datang dari China. Ini tentu tidak menutup kemungkinan akan sumber dari negara lain. Lalu bagaimana merangsang pendanaan dari China ini?
Secara umum tuntutan lembaga keuangan China sama saja dengan tuntutan para investor dunia. ”Berbicara tentang kebutuhan yang tinggi soal pembangunan infrastruktur di Asia, persoalan utamanya bukan pendanaan. Persoalan utama adalah pada pemerintahan yang harus eksis dan mampu menciptakan sistem yang baik,” kata Joachim von Amsberg, Wakil Presiden AIIB yang membidangi kebijakan dan strategi.
Ini dia katakan dalam seminar internasional pada 16 Juni 2017 di Jeju, Korea Selatan. Seminar yang diselenggarakan AIIB ini membahas peran pemerintah, bank-bank komersial dan lembaga multilateral soal pembangunan infrastruktur.
Pembahasan ini penting karena kebutuhan infrastruktur akan terus mewarnai pembangunan di Asia. Karena itu, pemahaman akan apa yang dibutuhkan lembaga keuangan menjadi sangat penting. ”Bank-bank pembangunan memiliki peran penting untuk mengurangi risiko pada proyek infrastruktur dengan memodifikasi skema proyek murni pemerintah menjadi proyek-proyek berbasis pinjaman,” kata Von Amsberg.
Meski demikian, kata Von Amsberg, AIIB tidak menggantikan peran pemerintah. ”Hanya saja kepemimpinan nasional harus hadir untuk mendorong proses dan tetap menjadi pemilik proyek,” katanya.
Penekanan pada peran pemerintah ini menjadi salah satu isu utama. Bisa diduga ini dipengaruhi fakta empiris, Pemerintah China sangat andal, gesit, dan cekatan soal pembangunan infrastruktur. Begitu banyak persoalan nyata di lapangan tentang pembangunan infrastruktur. Dan hanya pemerintahan kuat yang mampu membuat China membangun.
Salah satu masalah di balik minimnya pembangunan infrastruktur juga karena pihak swasta mengharapkan pemerintah sebagai penengah yang tepercaya. Di balik bisnis ini ada isu nilai tender yang membutuhkan transparansi, pembebasan lahan, dan aspek lainnya yang hanya bisa tuntas oleh pemerintahan. Oleh sebab itu, ”Tugas utama pemerintahan adalah menciptakan lingkungan untuk sebuah perubahan, reformasi di segala bidang, dan punya visi soal pertumbuhan,” kata mantan Perdana Menteri Pakistan Shaukat Aziz yang tampil sebagai pembicara di Jeju.
Aziz memberi contoh tentang perlunya kontrol harga atas proyek-proyek infrastruktur. Kontrol harga ini merupakan salah satu cara untuk mencegah korupsi. Hanya dengan kehadiran pemerintah lembaga-lembaga, seperti ADB, Bank Dunia, dan AIIB, akan masuk untuk memberi bantuan. ”Pihak utama yang mendorong haruslah pemerintah, bukan pemberi pinjaman,” kata Aziz.
Pemerintah wajib menjalankan pembangunan infrastruktur berbasis kelayakan, profesionalisme, dan transparan. Ini sangat diperlukan agar dana-dana pembangunan teralokasi dengan efisien. Harus dihindari agar bantuan pembangunan jangan menyebabkan penumpukan utang negara sementara infrastrukturnya tidak memuaskan, bahkan rusak dalam waktu cepat.
Jin Liqun, Presiden AIIB, menekankan bahwa AIIB hanya akan bekerja dengan pemerintahan yang mampu menciptakan iklim dan kebijakan yang lebih baik. ”Sukses kami bergantung pada kebijakan yang kolaboratif, kerja sama, dan koordinasi yang juga kolaboratif.”
Dia menambahkan, AIIB tidak memberi toleransi pada korupsi di balik pendanaan infrastruktur. Jin Liqun juga menekankan mantra AIIB, yakni sederhana, bersih, dan hijau. (REUTERS/AP/AFP/MON)